JAKARTA, BB — Institut Hukum Indonesia (IHI) mengapresiasi positif kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penangkapan dan penetapan tersangka oknum Hakim Agung, oknum Panitera Muda pada Mahkamah Agung RI dan dua orang oknum yang mengaku advokat.
Hal ini disampaikan pendiri/pembina Institut Hukum Indonesia (IHI) H.Sulthani, S.H.,M.H, melalui keterangan tertulisnya ke Redaksi Beritabersatu.com, sabtu (24/9/2022)
Menurut Sulthani, Kejahatan dalam proses penegakan hukum bukan rahasia lagi bagi unsur penegak hukum bahkan masyarakat pada umumnya. Sebagaimana statement Mahfud MD “mafia penegak hukum, oknum penyidik memiliki mitra dengan oknum jaksa, dan oknum jaksa memiliki jaringan oknun Majelis Hakim”. Itulah sebabnya kata Dia, teori hukum hanya baik dalam bentuk tekstual, tetapi sangat buruk dalam bentuk kontekstual.
“Sehingga dipandang saatnya pemerintah bersama DPR RI merumuskan Undang-undang Penegak Hukum yang mengatur sistem penegakan hukum dan sanksi pidana bagi aparat penegak hukum yang melakukan penyimpangan saat melaksanakan tugas dan kewenangannya, perlu diperbaiki UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Advokat, KUHAP untuk mengatur pembatasan kewenangan penyidik, jaksa, dan hakim, serta penguatan peran advokat untuk memberikan jasa bantuan hukum yang lebih tertib dan beretika,” jelas H Sulthani, S.H.,M.H. yang juga Ketua Umum MPN Persatuan Advokat Damai Indonesia.
Dikatakan, Mahkamah Agung RI sudah berkali-kali tercoreng kewibawaannya hingga dipastikan masyarakat sangat tidak percaya mendapatkan keadilan subtantif pada lembaga peradilan, artinya Ketua Mahkamah Agung gagal membersihkan Mahkamah Agung dari manusia “kotor” yang hanya menjadikan Lembaga Tinggi Negara MA sebagai sarang oknum penegak hukum pemeras pencari keadilan untuk memperkaya dirinya.
“Yosep Parera adalah salah seorang yang mewakili kliennya terobsesi untuk memenangkan perkara dengan cara suap. Tetapi suap tidak terjadi jika tidak ada permintaan yang diduga dilakukan Hakim Agung Sudrajat Dimyati, melalui oknum panitera di Mahkamah Agung,” ujarnya.
Kendati, Apa yang dialami Yosep Parera membuktikan juga bahwa boleh jadi banyak oknum advokat, oknum penyidik, oknum jaksa, oknum hakim, dan oknum panitera yang sudah disumpah jabatan tetapi nyambi menjadi makelar kasus. Hal ini terjadi karena begitu terbukanya ruang bebas bagi oknum untuk memperkaya dirinya melalui proses penegakan hukum.
“Karena itu jika tetap dibiarkan proses hukum bagai pasar rimba, maka sebaiknya intitusi penegak hukum dijadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar transaksi gelap dalam proses penegakan hukum bisa menjadi pendapatan negara bukan pajak,” tutup H.Sulthani, S.H.,M.H. kandidat Doktor Hukum Program Pasca Sarjana Univ.Muslim Indonesia (UMI). (*/rls)