Bergerak Bersama Rakyat, Lawan Kapitalisasi Pendidikan

0 comments

Pendidikan adalah sebuah alat untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, baik ketertindasasan secara fisik maupun mental. Hal ini kemudian dipertegas dengan hadirnya UUD 1945 bahwa negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Kuatnya makna pendidikan, maka bagi para founding fathers kita, telah menjadikan pendidikan sebagai prioritas dalam agenda kemerdekaan sehingga pendidikan dimasukan dalam konstitusi kita.

Sejarah pendidikan nasional diperingati setiap tanggal 2 mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hajar Dewantara. Beliau adalah pahlawan nasional di Indonesia yang dihormati sebagai “Bapak Pendidikan Nasional”. Ia mendirikan Taman Siswa yang menjadi tempat bagi penduduk pribumi biasa untuk dapat menikmati pendidikan yang sama dengan kaum Priyayi atau kasta yang lebih tinggi dimasa colonial belanda.

Oleh karenanya, hingga saat ini tanggal 2 mei selalu menjadi simbol perjuangan bagi pelajar dan rakyat Indonesia dalam menuntut hak normatif pendidikan. Namun, Seiring berkembangnya zaman, makna pendidikan direduksi sampai pada tataran yang paling meresahkan. Pendidikan yang seharusnya dapat membuka wawasan tentang dunia lebih luas, mengajarkan penalaran yang lebih logis-kritis, membangun kepercayaan diri yang lebih kuat sebagai individu maupun sebagai bangsa, menumbuhkan kemandirian dalam bersikap, dan memanusiakan manusia, kini pendidikan justru menumbuhkan watak individualis, pragmatis, mengarah kepada arah pasar bebas, sehingga pendidikan kita menjadi ladang basah bagi kaum modal dengan idelogi neolibnya.

Secara fakta keterlibatan WTO (Word Trade Organization) dalam menempatkan pendidikan sebagai salah satu sector yang harus bergerak bebas tanpa kendali negara. WTO, melalui General Agreement on Trade in Services (GATS), menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor industri tersier yang perlu di liberalisasi.

Sementara Indonesia telah bergabung dengan WTO sejak tahun 1995 dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No. 7 Tahun 1994 yang mengatur tentang tata perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Pendidikan sebagai sektor yang diliberalisasi maka tatanan global telah menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang bersifat komersil.

Pada akhirnya, Pendidikan nasional dari tingat dasar sampai Perguruan Tinggi kini telah di kapitalisasi, privatisasi, komersialisasi dan di
liberalisasi yang membuat masyarakat berada pada perangkap yang membuat dirinya tidak dapat lagi mengakses pendidikan secara mudah dan gratis. Hadirnya turunan kebijakan yang bermuara pada pendidikan bergaya Liberalisme seperti UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) maupun UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Secara filosofis, kedua produk UU tersebut sarat akan intervensi swasta maupun investor dalam menyelenggarakan pendidikan. Artinya secara terang-terangan Negara telah melepas tangan terhadap pendidikan nasional.

Selanjutnya melalui penandatanganan GATS yang membuka keran investasi terhadap 12 sektor jasa, bersepakat untuk meliberalisasi melalui dua wacana besar yang cukup hegemonik dalam pembangunan pendidikan tinggi dinegara dunia ketiga yaitu: globalisasi pendidikan tinggi yang dikampanyekan oleh WTO dan reformasi pendidikan tinggi yang dikampanyekan Bank Dunia. Misalnya, PTN (Perguruan Tinggi Negeri) terkemuka seperti UI,UGM,IPB, dan ITB berubah status menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) dan yang saat ini menjadi PTN-BH. Hal ini sebagai jalan masuknya ekonomi neoliberal, yang berimplikasi pada pendidikan dijadikan sebagai komoditas. Dampaknya, penyelenggaraan Pendidikan bukan lagi berbicara tentang mencerdaskan kehidupan bangsa tapi memperkaya investor dan mempertajam nafas penindasan.

Berangkat dari uraian diatas, mengakibatkan inflasi pendidikan di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi yang timbul dari sektor pendidikan mencapai 3,81%. Masih dari data BPS, khusus kenaikan rata-rata uang pangkal pendidikan di Indonesia mencapai 10-15% per tahunnya. AIA-Financial Indonesia menuliskan rata-rata kenaikan biaya pendidikan di Indonesia memang mencapai 20% tiap tahun. Sedangkan biaya pendidikan perguruan tinggi swasta mengalami kenaikan hingga 40%.

Pandemic covid-19 telah memberikan gambaran penyelenggaraan pendidikan dengan bantuan teknologi. Pandemic sebagai pemulanya, dan dapat diproyeksi akan terus berlanjut dalam memantapkan revolusi 4.0 di Indonesia. Masalahnya, bagaimana pun teknologi tidak akan menggantikan peran guru, dosen dan interaksi belajar antara pelajar dan pengajar. Sebab edukasi bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan tetapi juga tentang nilai, kerja sama, hubungan social dan kompetensi.

Pendidikan yang juga merupakan salah satu sector yang terdampak akibat pandemi, semakin memperlihatkan kebobrokannya karena tidak meratanya sarana dan prasarana pendidikan disemua penjuru negeri. Disisi lain, selama pandemic pemerintah tidak memberikan pemotongan apalagi pembebasan biaya. Namun pendidikan tetap memungut biaya seperti biasanya, padahal proses transfer knowledge tidak efektif diterima oleh perta didik dan masyarakat sedang berada dalam keadaan krisis kesehatan dan ekonomi. Kondisi ini semakin membuktikan bahwa pemerintah dalam hal ini tidak Negara di bawah kepemimpinan rezim Jokowi-Ma’aruf tidak memiliki keberpihakan dan tidak mengabdi kepada kepentingan massa rakyat.

Kualitas demokrasi Indonesia juga semakin parah, rakyat selalu dihadapkan dengan kekuatan militeristik disetiap agenda perjungan dalam mempertahankan haknya. Pembungkaman ruang demokrasi yang semakin massif saat ini merupakan pertanda bahwa Negara bertransisi pada ultra fasisme. Di dunia pendidikan pun demikian. Kebebasan berekspresi, berorganisasi, diskusi dan menyampaikan pendapat dalam mengkritisi kebijakan kampus/sekolah yang tidak pro mahasiswa/pelajar selalu terancam Drop Out (DO), skorsing atau nilai yang rendah. Misalkan yang terbaru terjadi DO kepada 3 mahasiswa di Universitas Lancang Kuning (UNILAK). Ancaman lainnya juga adalah kekerasan seksual.

Perilaku kekerasan seksual tidak luput dari lingkungan pendidikan. Terbaru pada tahun 2019 ada 15 kasus dan sampai Agustus 2020 telah diadukan 10 kasus (Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan sudah tidak menjadi tempat yang aman bagi anak didik. Sepanjang 2015-2020 dari 51 kasus yang diadukan, Perguruan Tinggi menempati urutan pertama sebagai lingkungan pendidikan yang rawan pelecehan seksual.

Oleh karena itu, dalam momentum Hari Pendidikan Nasional 2021, kami yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) dan Komite Kampus Yogyakarta menuntut:

1. Wujudkan pendidikan gratis, Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan;

2. Wujudkan pendidikan yang inklusi;

3. Tolak militerisme didunia pendidikan;

4. Usut tuntas kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan;

5. Laksanakan kuliah offline, tolak kuliah online;

6. Wujudkan demokratisasi kampus;

7. Wujudkan reforma agraria sejati;

8. Cabut Perundang-undangan yang tidak pro rakyat (Omnibus Law Cipta Keja berserta aturan turunannya, UU Sisdiknas No.20/2003, UU Perguruan Tinggi No.12/20012, PERGUB DIY No.1/2021, PP No.78/2015, UU Ormas
No.16/2017);

9. Cabut IPL quarry di desa Wadas;

10. Cabut izin perusahan tambang di Jomboran;

11. Hentikan represifitas gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat;

12. Sahkan RUU PKS, RUU PRT dan RUU Masyarakat Adat;

13. Hentikan perampasan tanah di Indonesia;

14. Tanah, modal dan teknologi untuk rakyat;

15. Berikan jaminan kesehatan dan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

16. Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua;

17. Cabut militer organik dan non-organik di tanah West Papua.

Yogyakarta, 2 Mei 2021
(Pers Release & Pernyataan Sikap)
Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) & Komite Kampus Yogyakarta (KKY).

 

You may also like