BANDA ACEH, BB — 8 Maret merupakan hari perempuan sedunia, dihari itu perempuan melakukan berbagai hal dari penyampaian aspirasai atau melakukan kegiatan keperempuanan.
Seperti halnya yang dilakukan LSM Flower Aceh bersama sejumlah lembaga lainnya menggelar aksi Aceh Women’s March di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day, Minggu (8/3/2020).
Aksi yang melibatkan puluhan orang dari lintas organisasi dan komunitas ini dimulai dengan longmarch mengelilingi Lapangan Blang Padang dan membawa alat kampanye yang berisi imbauan untuk pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh.
Staf Flower Aceh sekaligus Koordinator Aksi, Novia Liza, menyebutkan Hari Perempuan Sedunia dirayakan setiap 8 Maret tiap tahunnya. Aksi ini merupakan kegiatan kolaboratif gerakan perempuan, kelompok milennial, berbagai lembaga dan komunitas ,serta individu di Aceh untuk menuntut pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh.
“Kenapa kita hari kita beraksi? karena kita melihat masih banyak permasalahan perempuan yang belum tuntas, seperti angka kekerasan terhadap perempuan yang sangat tinggi, begitu juga di nasional. Kalau kita lihat di hasil catahu Komnas Perempuan, selama 12 tahun angka kekerasan meningkat delapan kali, perkawinan usia anak masih banyak terjadi, banyaknya undang-undang yang diskriminatif gender, dan masih banyak permasalahan lainnya. Makanya kita berkumpul untuk bersuara bersama mendukung kerja-kerja pemenuhan hak perempuan di Aceh,” jelasnya.
Aksi longmarch dilanjutkan dengan diskusi santai lintas organisasi/komunitas dan usia untuk berbagi informasi dan pengalaman melakukan upaya pemenuhan hak perempuan di Aceh.
“Momen diskusi ini menjadi ruang refleksi bersama mengenai kondisi pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh sekaligus memperkuat konsolidasi gerakan untuk pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh,” tegasnya.
Founder Millenial Empowerment, Bayu Satria menjelaskan tentang pentingnya partisipasi kelompok muda dalam aksi kolektif menyuarakan isu sosual dan upaya pemenuhan hak-hak perempuan, dapat dilakukan dari hal sederhana dan mudah dilakukan.
“Anak muda adalah elemen yang wajib hadir menjawab persoalan bangsa, gerakan-gerakan kolektif yang dilakukan secara partisipatif harusnya bisa mulai digalakkan hingga menjamur dan berlangsung secara sustainable, karena dengan hadirnya anak muda artinya persoalan dapat dijawab dari akarnya. Semuanya dapat dimulai dengan membiasakan anak muda untuk berani bersuara dan menjadi penyintas kekerasan,” sebutnya.
Diskusi yang dipandu oleh Rhyan Abdillah dan Devi itu juga dimeriahkan dengan penampiln live music acustic oleh Band Bangun Pagi dan komunita breakdance bernama Nanggroe Break Cypherz (NBC) yang mengiringi proses berlangsung. Nay, Personil NBC mengutarakan kebanggaannya menjadi bagian dari pelaksana aksi IWD tahun ini.
“Kami senang bisa bergabung di aksi ini, bisa turut serta mengajak, menginformasikan sesuatu yang baik demi terciptanya sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat Aceh, khususnya perempuan. Melalui kegiatan seperti ini, perempuan dan peserta lainnya juga tau bahwa ada tempat dan lembaga di Aceh untuk mengadu, berbagi keluh kesahnya sehingga mendapatkan solusi yang baik untuk mendukung pemenuhan hak-hak perempua,” sebutnya.
Diskusi dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan peserta untuk pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh, flash-mop oleh seluruh peserta serta doa bersama.
Adapun ketujuh tuntutan itu, pertama mendesak semua pihak untuk menciptakan situasi dan kondisi yang aman dan nyaman bagi perempuan bebas dari tindak diskriminatif dan kekerasan untuk berpartisipasi di ranah publik dan politik dalam pembangunan Aceh.
Kedua, mendorong semua pihak melakukan upaya nyata untuk pemenuhan hak perempuan terkait kesehatan dan gizi, pendidikan, ekonomi, politik, lingkungan, sosial dan budaya sebagai bagian dari hak asasi manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Ketiga, mengecam dan menolak segala bentuk diskriminasi, pelecehan, pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Aceh, serta tindakan victim blaming (menyalahkan korban terhadap bencana yang menimpa dirinya), intimidasi dan berbagai bentuk perbuatan yang dimaksudkan untuk membungkam suara penyintas.
Keempat, mendesak adanya upaya pemulihah dan pemenuhan hak perempuan pelanggaran HAM Aceh di masa konflik, serta hak perempuan korban kekerasan seksual melalui proses hukum yang adil dan bermartabat.
Kelima, mendesak negara segera menyelesaikan persoalan yang dialami perempuan terkait krisis air serta isu lingkungan lainnya di Aceh Besar dan wilayah lainnya di Aceh.
Keenam, mendesak negara menjalankan kewajibannya untuk melindungi perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender sesuai amanah dalam Undang-Undang HAM Nomor 39/1999, Undang-Undang Penghapusan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan Nomor 7 tahun 1984, UU Penghapusan kekerasan terhadap perempuan Nomor 23 Tahun 2004; dan melindungi anak-anak sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014, termasuk menyosialisasikan revisi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019, mengenai usia minimum untuk kawin; mengawasi implementasinya di dalam masyarakat.
Ketujuh, mendesak negara menjalankan amanah CEDAW yang telah diundangkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Pasal 2 yang mengharuskan negara membuat peraturan-peraturan yang melindungi, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap perempuan.
Aksi IWD tahun 2020 juga dirangkai dengan kegiatan diskusi film pada sore harinya, dan dialog tokoh perempuan komunitas dengan pengambil kebijakan di Aceh hari ini, Senin (9/3/2020) di Hotel Ayani, Banda Aceh.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Flower Aceh bersama Millenial Empowerment, Mitra MAMPU, Balai Syura, Forum Puspa Aceh, Natural Aceh, AWPF, Komisi Kesetaraan KSBSI, Youth Forum of Aceh.