Jejak Rohingya di Puncak Bogor, Mulai Masuk Sejak 2010

0 comments

Jakarta – Kawasan Puncak kerap disebut sebagai “surganya” imigran. Lokasinya yang strategis dianggap tepat untuk “menitipkan” para pencari suaka, sebelum mereka menuju negara tujuan. Tak terkecuali etnis Rohingya yang terusir dari Myanmar sejak 2010 lalu.

Informasi yang dihimpun Radar Bogor (Jawa Pos Group), Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi atau UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), pernah menyewa lahan-lahan di Puncak, tepatnya di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.

Lahan itu untuk dihuni pengungsi Rohingya. Lokasinya menyebar di sejumlah desa, tapi tetap terpusat di Cisarua.

“Total ada 251 pengungsi Rohingya di sana (Cisarua). Sejak 2012 sampai 2016. Anak-anak hingga lansia ada,” kata Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan pada Kantor Imigrasi Kelas I Bogor, Arief Hazairin Satoto.

Meski demikian, pria yang akrab disapa Toto itu mengaku tak mengetahui keberadaan mereka sekarang. Pasalnya, para pengungsi berada dalam pengawasan langsung UNHCR. “Laporan terakhir rekan-rekan di lapangan, sudah tidak ada di Puncak,” kata Toto.

Menurutnya, warga negara Myanmar mulai ramai masuk ke Bogor di awal 2012. Saat itu, konflik di Myanmar sedang genting-gentingnya. “Memang ada beberapa yang asli dari Rohingya, karena ada konflik di negaranya. Mereka mengungsi ke Indonesia,” jelasnya.

Jika dikelompokkan sesuai jenis kelamin, 54 di antaranya merupakan perempuan, sedangkan sisanya sebanyak 196 laki-laki. Hasil identifikasi terakhir Oktober tahun lalu, Toto sempat menerima informasi bahwa kedatangan etnis Rohingya ke Indonesia menggunakan kapal air. Saat itu, ada sekitar 35 orang berstatus warga negara Myanmar yang ditemuinya di Desa Batulayang Kecamatan Cisarua.

“Selama dia punya kartu United Nations High Commissioner for Refugees (NHCR), selama itu juga bisa tinggal di Indonesia. Kita mengawasi kegiatannya. Dia melanggar Undang Undang atau tidaknya di Indonesia,” ungkapnya.

Meski tempat yang mereka tempati terbilang lebih damai dari negara asalnya, tak lantas membuat mereka hidup dalam kondisi sejahtera. Pasalnya, berstatus sebagai pengungsi, membuat mereka dilarang melakukan aktivitas bisnis. Sehingga, untuk menyambung hidup, mereka bergantung pada bantuan PBB dan sanak saudara.

“Pengungsi tidak boleh kerja. Jualan pun tidak boleh. Kebanyakan memenuhi kebutuhan hidup dari saudaranya,” kata Toto. Namun lagi-lagi Toto menegaskan, pihaknya tidak mengetahui keberadaan mereka sekarang. (Kompas.com)

Editor    : Riswan

You may also like