Laksus Ingatkan Penegak Hukum Untuk tidak Menabrak Pasal UU 4 Tipikor, Meski Uang Negara Dikembalikan

by Ardin
0 comments

MAKASSAR, BB — Penanganan dalam tindak pidana korupsi tidak berarti mengembalikan uang negara terhadap yang bersangkutan hukum bahwa dihentikan kasusnya.

Namun perihal tersebut bertentangan dengan pasal 4 UU Tipikor yang menyatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan tindak pidananya.

Hal itu dikemukakan Praktisi hukum Khaeril Jalil SH, pihaknya menduga progres sejumlah kasus korupsi di Sulsel tidak menunjukkan penanganan serius. Bahkan, kata dia, banyak perkara yang bertahun tahun berkutak di fase penyelidikan.

Beberapa kasus juga terbentur pada hasil audit katanya. Yang kemudian menghambat penetapan tersangka.

Kharil Jalil mengingatkan bahwa sebelumnya Kemendagri, Polri, dan Kejaksaan Agung menandatangani Perjanjian Kerja Sama Koordinasi APIP dan Aparat Penegak Hukum terkait indikasi korupsi.

“Melalui kerja sama tersebut, disepakati kasus korupsi pejabat daerah yang masih di tahap penyelidikan akan dihentikan apabila yang bersangkutan  mengembalikan kerugian negara. Alasannya, pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi ini akan membuat anggaran untuk penyidikan tidak terbuang sia-sia. Apalagi, jika kerugian negaranya di bawah Rp1 miliar,” imbuhnya.

MoU ini menuai reaksi dari banyak pihak lanjutnya. Dan para pegiat antikorupsi menilai ada upaya untuk mendegradasi hukum lewat perjanjian antarpenegak hukum. Perjanjian itu jelas mengangkangi penegakan hukum. Karena dalam UU Tipikor sama sekali tak mensyaratkan penghentian proses hukum bagi yang mengembalikan kerugian negara. Meski masih di ranah penyelidikan.

“Menurut perspektif hukum, penanganan kasus Tipikor sebagaimana dimaksud dalam UU 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tidak dapat digunakan konsep restorative justice, melainkan tetap menggunakan konsep retributive justice, mengingat korbannya bukanlah orang perorangan yang bisa dimintai kesediaannya dalam mencari titik temu dengan pelaku,” jelas Khaeril.

Dia mengungkapkan, pengembalian kerugian negara dalam tindak pidana korupsi tidak menghentikan proses hukum. Jika ada pengembalian lalu proses hukum dihentikan, itu bentuk pembangkangan terhadap UU.

“Nah kalau sudah terjadi tindak pidana korupsi, kemudian diproses lalu dikembalikan kerugian negaranya. Apa perkara dihentikan?, Ini jelas bertentangan dengan pasal 4 UU Tipikor yang menyatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan tindak pidananya,” Khaeril menegaskan.

Menurutnya pengembalian uang atau kerugian negara oleh terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa yang bersangkutan. Pengembalian tersebut, menurut Khaeril , berarti ada itikad baik untuk memperbaiki kesalahan.

Namun Khaeril menegaskan bahwa pengembalian uang itu hanya mengurangi pidana. Tetapi bukan mengurangi sifat melawan hukum. Menurutnya, dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum.

“Contohnya seseorang mencuri, lalu mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu. Nah itu tetap tindak pidana yang harus diproses hingga meja hijau,” ungkapnya lagi.

Kendati demikian menyampaikan bahwa aparat penegak hukum tidak boleh memanfaatkan celah dalam pengembalian kerugian negara ini untuk menghentikan sebuah perkara korupsi.

Kata Tim Divisi Hukum dan HAM Laksus ini, aparat harus memahami bahwa sifat extraordinary crime atau kejahatan luar biasa itu melekat pada tindak pidana korupsi. Sehingga jika pengembalian kerugian negara menghapus  tindak pidana, maka korupsi bukan lagi dikategorikan extraordinary crime.  Melainkan hanya kejahatan biasa.

“Berbahaya sekali. Kalau pengembalian kerugian negara menghentikan sebuah perkara korupsi. Ini jelas mendegradasi hukum. Efeknya besar. Bisa menumbuhkan semangat korupsi. Orang akan lebih berani korup karena cukup dengan mengembalikan kerugian negara lalu kasus dihentikan,” Khaeril menlandaskan.

You may also like