Oleh : Ahmad Marsuki,SH.,MH.
Direktur LBH Sinjai Bersatu
Sinjai, — SEJARAH PARPOL DI INDONESIA, Sejarah tak akan mungkin terhapus dalam catatannya bahwa keberadaaan parpol di Indonesia menjadi tonggak kemerdekaan NKRI dari tangan penjajah dari berbagai negara dan dalam waktu yang tidak singkat itu, Pada Masa Hindia Belanda Partai Politik yang paling pertama dibentuk di Indonesia adalah De Indische Partij pada 25 Desemper 1912 oleh Douwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara, dan Tjipto Mangunkoesoemo.
Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berasaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka, lahirnya parpol itu di dasari dan merupakan menifestasi kesadaran nasional. Setelah didirikan Dewan Rakyat, kemudian Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi dalam volksraad yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan dari Partai-Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut Komite Rakyat Indonesia (KRI). Di dalam KRI terdapat Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Majelis Islami A’laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik – partai politik yang pertama kali terbentuk di Indonesia. Kemudian pada masa penjajahan Jepang, Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Partai Masyumi), yang lebih banyak bergerak di bidang sosial. Kemudian Pada masa pasca Kemerdekaan terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia.
Melalui Maklumat X yang diumumkan oleh Bung Hatta pada 3 November 1945 menjadi tonggak awal tumbuhnya partai politik pasca kemerdekaan di Indonesia. Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekret 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin. Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini tampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama melalui G 30 S/PKI akhir September 1965.
Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih leluasa dibanding dengan msa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah munculnya organisasi kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar muncul sebagai pemenang partai diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU, PARMUSI (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI. Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai menjadi tiga partai. Pertama: GOLKAR Kedua : Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ketiga : Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun 1977 hanya terdapat 3 organisasi keuatan politik Indonesia dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1997. Kemudian Pada Tahun 1998, Kejenuhan atas keadaan bangsa dan negara di bawah kepemimpinan Presiden terlama SOEHARTO ini, yang juga di usung oleh partai politik ternyata membangun Kesadaran massif masyarakat indonesia yang di pelopori oleh Mahasiswa dengan gerakan demonstrasi yang terus berlanjut dengan massa kian bertambah jumlahnya dari berbagai daerah dan latar belakang profesi, bahwa perjuangan itu tak pernah surut hingga Soeharto Lengser dari kursi kekuasaannya walau bebrapa nyawa para pejuang reformis itu harus di rengguk oleh kejamnya rezim penguasa pada saat itu melalui alat negaranya, kemudian lahirlah kembali sistem multi partai sampai saat ini.
PARTAI POLITIK & TUJUAN PARPOL, Secara etimologis, Partai berasal dari kata Pars atau Partis, yang berarti bersifat bagian (Leteng, 2010) sedangkan Politik berasal dari kata Polis (bahasa Yunani), yang artinya negara kota. Namun kemudian dikembangkan dan diturunkan menjadi kata lain seperti Polities (warga negara), Politikos (kewarganegaraan atau civic), dan Politike Tehne (kemahiran politik), dan Politike Epistem (ilmu politik) (Cholisin, 2003:1). Sedangkan Menurut Meriam Budiardjo dalam bukunya berpendapat bahwa politik adalah berbagai macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem dan melaksanakan tujuan (Meriam Budiardjo, 2012). Jadi, politik ialah suatu proses dalam melaksanakan maupun dalam mencapai tujuan dari politik itu sendiri.
Menurut Putra Rifandi (2013 partai politik yaitu organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan, kehendak, dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik, anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
FUNGSI PARPOL, Fungsi partai politik menurut Andrew Knapp mencakup antara lain: Mobilisasi dan integrasi, Sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih, Sarana rekruitmen pemilih, dan Sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan, Menurut Budiardjo (2003), ada empat fungsi partai politik, yaitu (komunikasi politik) Partai politik bertugas menyalurkan beragam aspirasi masyarakat dan menekan kesimpangsiuran pendapat di masyarakat. (sosialisasi politik) Dalam usahanya untuk memperoleh dukungan luas masyarakat, partai politik akan berusaha menunjukkan diri sebagai pejuang kepentingan umum.(rekruitmen politik) Partai politik memiliki fungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk aktif berpolitik sebagai anggota partai politik tersebut (political recruitment).dan (pengelolaan konflik). Partai politik bertugas mengelola konflik yang muncul di masyarakat sebagai suatu akibat adanya dinamika demokrasi, yang memunculkan persaingan dan perbedaan pendapat.
Di samping itu, partai politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan dengan diarahkan pada dua hal utama, yaitu (Penjelasan Umum UU 2/2011): Membentuk sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku partai politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Memaksimalkan fungsi partai politik baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.
PEMILUKADA, Pemilihan umum kepala daerah atau biasa disingkat menjadi PEMILUKADA memiliki Dasar hukum dengan sejarah lahirnya berbagi regulasi yang berkaitan dengan pemilukada antara lain yang di muat di http://pemilu-kpu-bawaslu.blogspot.co.id/2013/06/undang-undang-pemilu.html
Pengertian pemilukada adalah ”Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Namun sejak ditetapkannya UU RI Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu istilah Pemilukada diuraikan langsung sehingga menjadi ”Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
PARTISIPATIF, RESPONSIF DAN AKUNTABILITAS PARTAI POLITIK, Adnan Topan Husodo (Anggota Perkumpulan Indonesia Corruption Watch) membagi menjadi dua bagian, yaitu:
Akuntabilitas vertikal, Buruknya mekanisme demokratisasi internal partai politik dan indikasi adanya suap/politik uang dalam penentuan ketua umum partai mencerminkan hilangnya dua mekanisme akuntabilitas institusi/orang yang semestinya ada dalam konteks good governance.
Pertama, akuntabilitas vertikal, di mana partai politik semestinya berada dalam radar pengawasan publik secara luas, melalui berbagai sarana kontrol, baik media massa maupun masyarakat sipil. Media massa yang idealnya menjadi penyeimbang banyak yang terjebak pada konflik kepentingan karena kuasa pemilik media yang sekaligus adalah ketua umum partai. Awak media dipaksa tidak lagi bekerja secara kritis, tetapi menjadi corong partai politik tertentu. Demikian pula masyarakat sipil, mengalami persoalan dalam melakukan tekanan kepada partai politik karena tidak memiliki daya tawar cukup kuat.
Meskipun suara kritis dari kalangan masyarakat sipil masih tidak terlalu diperhitungkan oleh elite partai, ada kecenderungan positif di mana sikap dan keputusan internal partai politik memiliki keterkaitan dengan perolehan suara dalam pemilihan umum. Artinya, masyarakat pemilih kian menjaga jarak dengan partai sehingga memiliki kemampuan untuk mengkritisi dan memberikan hukuman kepada partai politik dalam pemilu.
Ikatan ideologis yang selama ini menjadi perekat antara pendukung loyal dan elitenya kian pudar karena praktik manipulasi yang berlangsung terus-menerus. Tak heran semakin banyak pemilih yang kehilangan kepercayaan kepada partai dan menaruhkan harapan kepada individu-individu di partai politik (Non Responsif).
Secara terbatas, akuntabilitas vertikal juga tidak terbangun dalam kaitannya dengan hubungan antara elite partai dan pengurus/anggotanya. Suara anggota dan pengurus di tingkat wilayah atau daerah lebih banyak menjadi stempel bagi rezim berkuasa karena mekanisme demokrasi internal yang tidak terbangun dengan baik (Non Partisipatif). Pengurus daerah tampaknya lebih memilih mengambil sikap oportunis, mengikuti ke mana angin di atasnya bergerak. Faktor utamanya adalah sumber keuangan partai yang hanya berasal dari segelintir orang. Agaknya, pilihan untuk mendesentralisasi partai politik perlu didiskusikan lebih dalam untuk menjawab tantangan ini.
Akuntabilitas Horizontal, Akuntabilitas Horizontal dari institusi/lembaga negara yang ada kepada partai politik juga sangat terbatas. Dalam sistem demokrasi liberal yang matang, lembaga semacam Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh konstitusinya dipercayai melakukan pengawasan secara penuh kepada partai politik, sekaligus memberikan sanksi tegas jika ada pelanggaran. Pada kasus Indonesia, KPU/KPUD lebih diorientasikan sebatas penyelenggara, sementara pengawasan yang sangat terbatas ada pada Bawaslu/Panwaslu. Lemahnya KPU/KPUD dan Bawaslu/Panwaslu dalam mengawasi partai politik sebenarnya bisa diimbangi dengan fungsi kontrol dari lembaga lain, seperti KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian, khususnya dalam konteks memberantas maraknya indikasi politik uang di internal partai.
Akan tetapi, hambatan dalam melakukan penegakan hukum atas praktik korupsi di internal partai politik adalah karena secara yuridis, KPK sebagai contoh, bekerja dalam lingkup dan ketentuan perundang-undangan yang terbatas. Korupsi internal partai politik di Indonesia belum atau tidak dimasukkan sebagai bagian dari pidana korupsi sebagaimana Undang-Undang Korupsi telah mengatur definisi, kriteria, dan ruang lingkupnya. Oleh karena itu, ada kesan jika korupsi internal partai lebih langgeng dan aman dilakukan karena berada dalam ruang yang kedap jangkauan hukum.
Andaipun KPK atau lembaga penegak hukum lainnya berwenang menanganinya, paling tidak ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, syarat yang berkaitan dengan aturan legal-formal di mana unsur adanya pejabat publik, pegawai negeri sipil, dalam suap yang terjadi atau jika diketahui sumber dana untuk penyuapan berasal dari keuangan negara. Kedua, adanya independensi politik aparat penegak hukum. Untuk syarat yang pertama, tentu saja perlu ada reformasi peraturan perundang-undangan dengan memasukkan kategori korupsi di tubuh partai politik, tanpa syarat apa pun, sebagai bagian dari delik korupsi yang bisa diproses oleh aparat penegak hukum. Di Hongkong sebagai contoh, suap di internal partai politik dalam konteks apa pun, berikut dengan praktik politik uang dalam pemilu, dapat ditangani oleh ICAC—lembaga superbodi seperti KPK—tanpa keterlibatan Bawaslu ataupun KPU-nya. Sementara untuk syarat yang kedua, independensi penegak hukum bukan semata soal legal-formal. Akan tetapi, ia terbentuk dari proses panjang, dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kultur politik yang berlaku secara kontekstual. Independensi juga dipengaruhi oleh sistem integritas yang dimiliki lembaga penegak hukum beserta personelnya. Dalam soal yang kedua ini pun kita masih perlu berbenah.
IMPLIKASI (Plus Minus) PARPOL PADA PEMILUKADA, Sistem ketatanegaraan / pemerintahan yang selama ini dipraktekkan saat pemilihan Kepala Daerah telah “gagal” menjalankan amanat konstitusi untuk terwujudnya ajaran kedaulatan rakyat dalam praktek ketatanegaraan. Sistem perwakilan dalam pemilihan Kepala Daerah begitu mudah direkayasa, diintervensi, politik uang, dagang sapi, tawar menawar dan penyirnpangan-penyimparrgan lainnya. Oleh karena itu pemilihan Kepala Daerah secara langsung diharapkan dapat menghasilkan figur kepemimpinan yang aspiratif, berkualitas dan legitimate serta akuntabel.
Kekuasaan partai politik sangat kuat untuk menentukan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Disini tidak dapat dihindari lagi adanya peluang terjadinya politik uang yang makin tinggi dibandingkan pada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang telah, terlaksana. Dari sumber yang dapat dipercaya, beberapa partai politik yang mempunyai Bargaining Power misalnya adanya dugaan parpol menawarkan pada calon Kepala daerah untuk membayar Rp 3 – 4 miliar bahkan lebih dengan dalih biaya/dana operasional partai dalam memenangkan pertarungan. Kalau hal ini betul berarti telah terrjadi kekerasan, pemaksaan dan pemerasan terhadap calon kepala daerah yang tidak wajar lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran partai ini akan membuka peluang kemungkinan terjadinya “Politik Transaksiona/money politics ” ditubuh parpol di satu sisi dan di masyarakay di sisi lain seperti yang terjadi selama ini. Disarnping itu, kemungkinan partai akan sekehendak hati dalam merekrut dan menentukan calon tanpa melihatkan aspirasi dan partisipasi konstituennya serta masyarakat umum, juga sangat besar. Jika hal ini terjadi maka bukan saja mencederai demokrasi, melainkan. juga merupakan kemunduran bagi proses demokaratisasi sebagaimana yang di cita-cita oleh .
Apa yang di pertontonkan misalnya di kabupaten sinjai saat ini, menjelang pemilukada tahun 2018 akan datang, membuat beberapa parpol membuka kran selebar-lebarnya pendaftaran bakal calon baik dari kader maupun non kader untuk di usung mejadi calon bupati akan datang, sekalipun beberapa diatara parpol tersebut dengan lantang menawarkan pendaftaran secara GRATIS namun kelak tetap akan membebankan Cost Politik terhadap Calon yang akan di menangkannya kelak, minimal operasional mesin partai sebagai mana yang saya kemukan diatas. Namun hal itu menimbulkan pertanyaan pada benak kami, kemana para kader parpol saat ini? Mengapa harus membuka pendaftaran secara Umum? Mungkinkah parpol gagal melahirkan kader ataukah dalih demokratisasi lagi?
Di perparah dengan berbondong-bondongnya para bakal calon mendaftarkan diri pada parpol tersebut, bukankah parpol adalah bagian dari wadah masyarakat yang terlembagakan atau representatif masyarakat? Kondisi saat ini yang membuat kami semakin bingung dengan pola demokrasi kita ataukah ini yang disebut “Demokrasi Kontemporer”? sebab seharusnya parpol-lah yang melakukan seleksi di internal tuk menentukan siapa yang akan di usung menjadi calon bupati bukan malah sebaliknya seperti saat ini dimana para bacalon yang datang mendaftarkan dirinya, Bupati adalah amanah artinya masyarakat yang menghendakinya bukan dengan cara menawarkan diri melalui pendaftaran terbuka.sebab bagaimana mungkin mewujudkan tujuan dan Fungsi partai jika calon yang di usungnya bukan kader yang sama sekali tidak memahami apa tujuan parpol itu sendiri?.
Hiruk pikuk pemilukada kian menjadi trending topik di setiap pembicaraan diseluruh lapiran masayarakat sinjai saat ini, namun sungguh sangat membuat saya terheran-heran sebab hampir semua pembicaraan itu bermuara pada pertanyaan akan financial para bakal calon, seolah tergambarkan bahwa tuk menjadi seorang bupati saat ini wajib memiliki kemapuan keuangan yang relatif banyak. Dan diantara biaya yang tak terhindarkan misalnya, operasional partai, sosialisasi (alat peraga dll), tenaga profesional sebagai pendamping (Consultan Politik).
Pemilukada secara terbuka bebas langsung dan rahasia yang akan datang 2018, adalah pemilukada langsung yang ketiga kalinya, cukuplah bagi masyarakat dengan berbagai pengalamannya, bahwa politik transaksional itu benar adanya bahkan tak tanggung-tanggung beberapa diatara masyarakat akan menentukan pilihannya pada orang yang mampu “membeli” suaranya, hal ini disebabkan oleh luka lama kekecewaannya pada pemilukada sebelumnya karena janji- janji yang di umbarkan cendrung tidak di realisasikan jika telah terpilih, harapan tinggallah harapan semata dan mereka akan datang kembali jika pemilukada akan dilaksanakan, mungkin di anggaplah hari “pembalasan” kepada bakal calon atau calon akan datang sekalipun dengan orang yang berbeda.
Jika sekiranya masalalu itu mengajarkan politik cerdas, santun dan non traksaksional maka kami yakin dan percaya bahwa sikap pemilih saat ini, tentunya tidak lagi menambah angka golput, pemilih bayaran, serta tim sukses yang berpindah-pindah karena mencari kesejahteraannya minimal selama tahapan pemilukada berlangsung. Rendahnya partisipasi masyarakat pada pemilukada akan datang kami prediksi akan semakin jauh dari harapan sebab partisipasi itu kian menurun utamanya untuk menyalurkan hak suaranya, oleh karena itu menjadi tugas berat bagi KPUD sebab Partai Politik tidak mampu memberikan pendidikan politik sebagimana mestinya secara maksimal, dan acapkali hadir di publik disaat acara seremonial partai belaka. Serta, misalnya wakil rakyat yang ada di DPRD saat ini dianggap Non responsif atas aspirasi masyarakat utamanya masyarakat pelosok desa, apalagi seorang bupati misalnya, karena berbagai kesibukan akan tugas-tugasnya tentu akan memberikan ruang yang semakin sempit untuk bertemu dengan masyarakatnya di pelosok desa.
Jika Parpol saat ini menyadari keadaan ini, maka seharusnya parpol meretas jalan baru dan tidak lagi menggunakan pola struktur lama atau membiarkan politik itu di kotori oleh oknum tertentu yang menghalalkan segala macam cara tuk meraih kemenangan pada pemilukada akan datang. sebab masyarakat kita semakin hari makin “cerdas” memberikan efek balik bagi para politisi. Mari membangun keasadaran politik cerdas dengan tiada henti memberikan pendidikan politik yang sesungguhnya dan menekankan agar politik transaksional itu tidak ada lagi, (Gula,Sarung & Amplop) telah jauh dari kehidupan perpolitikan kita!
Selamat Berjuang Parpol!!!
Editor : Palewai