Jakarta – Tono Pebrianto Pria 35 Tahun Bekerja sebagai sopir angkutan umum, 3 kali nyaris bunuh diri Akibat efek samping obat MDR-TB yang keras. dirinya mengaku pertama kali terinfeksi TB pada tahun 2012 lalu dan dia paham betul bahwa ditempat sehari harinya di bekerja dia rentan terjangkit kuman TB saat berada di terminal dan ruang terbuka lainnya. untuk menyembuhkan penyakit multi-drug resistant tuberkulosis (MDR-TB) yang dialaminya, ia harus melakukan pengobatan rutin
“Saya berobat selama 8 bulan, itu rutin berobatnya sampai sembuh. Cuma saya nggak kontrol setiap bulan setelahnya kan karena merasa fit, saya kerja lagi,” ungkap Tono, saat ditemui di kantor Yayasan Pejuang Tangguh TB-RO Yayasan PETA) di Jl Rawamangun Muka II, Jakarta Timur.
Karena pekerjaannya yang memang menuntut kondisi fisik tinggi, Tono sempat lupa menjaga kesehatan. Setahun bekerja, ia kembali mengalami gejala-gejala TB, namun lebih parah.
Ia akhirnya positif didiagnosis mengidap MDR-TB, yakni bentuk penyakit TB yang tak lagi mempan dengan pengobatan normal. Obat-obatan MDR-TB juga diketahui lebih keras, dan memiliki efek samping yang lebih hebat dibandingkan dengan obat TB biasa.
Perjuangan Tono pun dimulai. Di awal-awal masa pengobatan, ia sempat tak bisa berjalan karena masalah asam urat. Pendengarannya pun berkurang karena telinganya sering berdengung.
Mau tak mau, Tono pun harus meninggalkan pekerjaannya sebagai sopir. Sang istri yang sebelumnya mengurus anak, menggantikan perannya sebagai pencari nafkah keluarga selama Tono menjalani pengobatan MDR-TB.
“Di sini saya merasa frustasi. Saya merasa tidak berguna sebagai laki-laki, sebagai kepala rumah tangga. Padahal saya sudah setahun lebih jalan berobat, tapi merasa sia-sia. Bahkan saya 3 kali nyaris bunuh diri, kenapa saya sakit lama sekali, berobat nggak selesai-selesai,” kenang Tono dengan mata berkaca-kaca.
Namun dukungan dari keluarga yang tak pernah putus membuat Tono urung bunuh diri. Di saat itu pula ia mengenal PETA, yayasan support group pasien MDR-TB yang seluruh anggotanya merupakan mantan pasien MDR-TB.
Pada tahun 2016, Tono dinyatakan sembuh dari MDR-TB. Setahun kemudian dia bergabung sebagai salah satu anggota Yayasan PETA untuk daerah Jakarta Utara. Menurutnya, peran peer educator sangat penting, mengingat mereka sebelumnya juga pernah merasakan hal yang sama seperti dirasakan pasien MDR-TB yang sedang berobat.
“Saya merasakan sendiri bagaimana peran teman-teman PETA saat saya sedang berobat. Dengan berbagai pengalaman kami dulu, kami ingin mendampingi agar para pasien MDR-TB bisa rutin berobat, bisa sembuh dan tak lagi berisiko menularkan MDR-TB ke lingkungan sekitarnya,” tutup Tono. (*)
Sumber : detik.com
Editor : Supardi