Beritabersatu.com, Blitar – Mediasi sengketa tanah antara Murtomo dan Sumaji di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Blitar, Jumat (21/11/2025), membuka dugaan masalah yang jauh lebih kompleks. Revolutionary Law Firm, kuasa hukum Murtomo, mengungkap indikasi maraknya pengajuan sertifikat terhadap lahan kosong dalam skema Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTPKH). Praktik itu dinilai menyalahi aturan serta bertentangan dengan isi Memorandum of Understanding (MoU) Pemkab Blitar–UGM tahun 2022.
Pendiri Revolutionary Law Firm, Mohammad Trijanto, SH, MH, MM, yang hadir dalam mediasi, menegaskan bahwa temuan tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan aparat hukum. Menurut MoU 2022, sertifikasi PPTPKH hanya boleh diberikan pada lahan yang benar-benar dikuasai dan dimanfaatkan masyarakat.
Dalam MoU dijelaskan bahwa lahan yang dapat disertifikatkan harus memiliki bukti penguasaan nyata, seperti permukiman, fasilitas umum, atau fasilitas sosial. Namun hasil temuan di lapangan justru berbanding terbalik: diduga terdapat ratusan bidang tanah kosong yang didaftarkan dengan riwayat pemukiman demi memperoleh sertifikat PPTPKH.
“Kalau lahan kosong tiba-tiba diperlakukan sebagai pemukiman, itu jelas menabrak aturan. Ini bukan sekadar salah administrasi, tapi bentuk manipulasi yang merusak esensi PPTPKH,” tegas Trijanto.
Ia menjelaskan bahwa PPTPKH adalah program negara untuk menata penguasaan tanah di kawasan hutan, sehingga hanya lahan yang benar-benar dihuni atau dimanfaatkan masyarakat yang layak disertifikatkan. Banyaknya usulan lahan kosong, menurutnya, berpotensi menjadi bagian dari praktik mafia tanah.
“Ketika tanah kosong disulap seolah-olah pemukiman demi sertifikat, itu sudah permainan. Ini celah yang sangat mungkin dimanfaatkan mafia tanah,” ujarnya.
Praktik tersebut, lanjutnya, tidak hanya merusak kebijakan pemerintah, tetapi juga merugikan masyarakat yang benar-benar menguasai lahan. Sertifikasi tanpa penguasaan nyata membuka ruang perebutan hak secara tidak wajar.
Dalam mediasi, Kepala Dinas Perkim, Agustinus Nanang Adi, menjelaskan bahwa pihaknya mempertemukan kedua belah pihak untuk mengklarifikasi bidang yang tercantum dalam SK Biru Nomor 486. Namun karena belum ada titik temu soal dasar penguasaan, Perkim memutuskan menunda proses sertifikasi.
“Bidang ini sementara kami pending. Sertifikat hanya dapat diproses setelah memenuhi prinsip clean and clear, sesuai MoU dan petunjuk teknis PPTPKH,” ujarnya.
Ia memastikan setiap pengajuan sertifikat harus dilengkapi bukti penguasaan faktual, dan verifikasi akan diperketat untuk mencegah penyalahgunaan program.
Trijanto meminta pemerintah daerah melakukan evaluasi menyeluruh atas seluruh usulan bidang PPTPKH, khususnya yang teridentifikasi sebagai lahan kosong.
“Kalau benar ada ratusan lahan kosong diajukan untuk sertifikasi, ini harus dibongkar tuntas. Jangan sampai PPTPKH jadi pintu masuk kepentingan tertentu yang merusak tatanan agraria,” tegasnya.
Ia menegaskan Revolutionary Law Firm tidak hanya mendampingi klien, tetapi juga mengawal implementasi PPTPKH agar tetap sejalan dengan MoU 2022: adil, transparan, dan berpihak pada masyarakat yang berhak.
Mediasi akan dilanjutkan setelah masing-masing pihak melengkapi bukti penguasaan. Perkim berjanji seluruh proses verifikasi dilakukan transparan demi menjaga integritas program.
Trijanto berharap kasus ini menjadi momentum pembenahan total pelaksanaan PPTPKH di Kabupaten Blitar.
“PPTPKH tidak boleh dibelokkan. Ini soal hak rakyat dan penegakan aturan. Dan alhamdulillah temuan ini tadi sudah dicatat dalam notulen dan akan segera dibawa ke forum GTRA untuk dievaluasi dan dikoreksi,” pungkasnya.
Sebagai tambahan informasi, target penerbitan sertifikat PPTPKH di Kabupaten Blitar tahun ini mencapai 4.388 bidang, dengan total 262,47 hektar kawasan hutan yang telah dilepas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (Zan)