Beritabersatu.com, Bondowoso – Isu panas mengenai dugaan alih fungsi hutan di kawasan Ijen, Kabupaten Bondowoso, yang menyeret nama PTPN I dan masyarakat setempat, akhirnya diluruskan oleh pihak Perhutani.
Administratur Perhutani KPH Bondowoso, Misbakhul Munir, menegaskan bahwa sumber konflik yang telah memicu insiden pembakaran hingga penyanderaan bukanlah kawasan hutan negara yang dikelola Perhutani, melainkan lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN I.
“Jadi, ini bukan alih fungsi hutan, melainkan alih fungsi lahan di area HGU,” tegas Munir, mengklarifikasi narasi yang keliru dan berkembang luas di masyarakat. Penegasan ini penting untuk membedakan status hukum dan mekanisme pengelolaan lahan yang tengah bersengketa.
Tolak KSO Picu Konflik Mencekam
Konflik yang berlarut-larut ini berakar dari penolakan keras masyarakat terhadap program pengkopian seluas 500 hektare yang merupakan bagian dari Kerja Sama Operasional (KSO) PTPN I. Penolakan ini memuncak menjadi serangkaian tindakan anarkis yang mencekam, termasuk Pembakaran dan perusakan fasilitas perusahaan, Penyanderaan karyawan, dan Pembabatan tanaman kopi milik PTPN.
Menurut Munir, meskipun Forkopimda sudah berulang kali memfasilitasi pertemuan, hingga saat ini, titik temu penyelesaian belum juga ditemukan, menunjukkan betapa kompleks dan sensitifnya masalah ini.
Munir juga menjelaskan mengapa nama Perhutani kerap terseret dalam berbagai forum penyelesaian, mulai dari DPR hingga Kejaksaan. Hal ini murni disebabkan oleh kedekatan geografis wilayah PTPN dan Perhutani.
Ia menekankan adanya perbedaan mendasar dalam pola pengelolaan, yakni Perhutani: Menggunakan sistem kemitraan atau bagi hasil dengan masyarakat. Sedangkan PTPN: Menggunakan pola KSO atau sewa pada lahan HGU.
Munir mengingatkan publik bahwa Peraturan Pemerintah (Perpu) Nomor 5 tentang Penertiban Kawasan Hutan tidak berlaku untuk PTPN karena perusahaan tersebut tidak termasuk dalam kategori pengelola kawasan hutan negara.
“Sering kali publik mencampuradukkan antara HGU dan kawasan hutan. Padahal, keduanya memiliki dasar hukum dan mekanisme pengelolaan yang berbeda,” tutup Munir.
Ia menyerukan perlunya pemahaman yang benar mengenai batas dan status lahan guna menghentikan kesalahpahaman yang berkelanjutan dalam konflik yang semakin memanas di Ijen. (Tahrir)