Sisi Gelap Car Free Day Kota Blitar, Pengusaha Diduga Dimintai “Setoran” Tiap Minggu

by Ardin
0 comments

Beritabersatu.com, Blitar – Program Car Free Day (CFD) di Kota Blitar yang sejatinya digagas untuk mendorong gaya hidup sehat dan memperkuat interaksi sosial warga, kini justru menimbulkan kontroversi baru. Di balik gegap gempita kegiatan mingguan tersebut, terselip dugaan adanya permintaan sumbangan hingga Rp5 juta per pekan kepada sejumlah pengusaha lokal.

Informasi yang diterima, permintaan sumbangan itu disampaikan kepada pengusaha dari berbagai sektor, mulai dari perhotelan, pariwisata, perbankan, hingga kuliner. Besaran yang ditetapkan disebut-sebut tidak bersifat sukarela, melainkan “giliran wajib” bagi para pengusaha setiap pekannya.

Salah seorang pengusaha yang enggan disebut namanya mengaku keberatan atas mekanisme tersebut.

“Kalau cuma sekali-dua kali untuk kegiatan sosial, kami tidak masalah. Tapi kalau diminta tiap pekan dan jumlahnya sudah ditentukan, ya memberatkan. Apalagi kondisi ekonomi sekarang sedang sulit, kami juga punya banyak beban operasional,” ungkapnya.

Nada serupa datang dari pengusaha lain. Mereka mempertanyakan dasar kebijakan itu dan menduga kegiatan CFD dijalankan tanpa dukungan anggaran resmi.

“Kalau memang program pemerintah, harusnya sudah ada pos anggarannya. Jangan malah pengusaha yang disuruh menutup biaya kegiatan. Itu tidak adil,” ujar sumber lain dari kalangan pelaku usaha jasa di Blitar.

Selain keresahan dari sektor swasta, sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) juga menilai penyelenggaraan CFD setiap Minggu mengganggu waktu keluarga.

“Kami kerja dari Senin sampai Sabtu, hari Minggu seharusnya bisa istirahat. Tapi sekarang justru diminta hadir, ya tentu mengganggu,” keluh salah satu ASN yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Program CFD sendiri sejatinya bukan hal baru. Kegiatan ini telah dijalankan sejak masa Wali Kota sebelumnya, Santoso, namun kini kembali dilanjutkan dengan format berbeda di bawah kepemimpinan Syauqul Muhibbin. Bedanya, kali ini muncul keluhan karena pola pelaksanaan yang dianggap lebih memberatkan dan kurang transparan.

Tokoh masyarakat Blitar, Muhamad Yunus, menilai program pemerintah daerah seharusnya dirancang berdasarkan kebutuhan publik, bukan kepentingan seremonial.

“Kegiatan seperti CFD bagus, tapi harus dikaji dengan matang. Jangan sampai niatnya baik tapi caranya salah. Kalau melibatkan masyarakat dan dunia usaha, harus ada transparansi, bukan kewajiban sumbangan yang menimbulkan rasa tidak nyaman,” tegas Yunus.

Menurut Yunus, pemerintah daerah perlu menata ulang mekanisme pelaksanaan CFD agar lebih inklusif.

“Car Free Day seharusnya menjadi ruang publik bagi masyarakat tanpa beban. Pemerintah bisa menggandeng sponsor dengan cara yang etis dan terbuka, bukan dengan cara yang membuat pengusaha merasa terpaksa. Pemerintah itu pelayan rakyat, bukan pemungut dana,” tambahnya.

Terkait dugaan pungutan sumbangan tersebut, Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin melalui Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) Kota Blitar, Drs. Hakim Sisworo, M.Si., membantah adanya permintaan dana dengan nominal tertentu.

“Pembiayaan kegiatan CFD itu sudah di bawah KPTSP. Tidak ada sumbangan dengan nominal seperti yang diberitakan. Kalau ada sponsor, itu bukan dalam bentuk uang, tapi bisa berupa bantuan peralatan seperti elektone dan sound system,” jelas Hakim.

Meski begitu, sejumlah pihak berharap pemerintah dapat membuka secara rinci mekanisme pendanaan program Car Free Day agar tidak memunculkan persepsi negatif di masyarakat. Kejelasan tersebut dinilai penting demi menjaga kepercayaan publik dan memastikan setiap kegiatan pemerintah berjalan sesuai prinsip akuntabilitas.

“Pemerintah harus hati-hati. Sekali masyarakat kehilangan kepercayaan, sulit untuk dikembalikan. Transparansi adalah kuncinya,” tutup Yunus. (Zan)

You may also like