Beritabersatu.com, Blitar – Sosialisasi Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) yang digelar oleh Bapenda Kabupaten Blitar di Balai Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Kamis (31/07/2025), berubah menjadi forum dialog intens antara pemerintah daerah dan para pelaku tambang. Sejumlah supir truk dan anggota Paguyuban Penambang Kali Putih meminta mediasi sebelum kegiatan dimulai, menyuarakan keresahan terkait pungutan ganda dan ketidakpastian regulasi perizinan tambang.
Hampir seluruh supir truk tambang dari berbagai wilayah Kabupaten Blitar memadati balai desa sejak pagi. Mereka menyambut agenda ini bukan hanya untuk mendengar sosialisasi, tetapi juga menyampaikan keluhan atas kondisi di lapangan yang dirasa semakin membebani.
Kepala Bapenda Kabupaten Blitar, Asmaningayu Dewi L., ST., MM., yang akrab disapa Ayu, menyambut baik terjadinya mediasi spontan tersebut. Ia menjelaskan bahwa pajak yang disosialisasikan bukanlah beban supir, melainkan tanggung jawab penambang sebagai wajib pajak.
“Sebenarnya agenda kami hari ini untuk paguyuban penambang, tapi kehadiran supir-supir ini malah jadi momen tepat untuk membuka komunikasi dua arah. Alhamdulillah, setelah diskusi, mereka sudah ada titik temu,” ungkap Ayu.
Ia juga menjelaskan, Bapenda hanya mengurusi pajak resmi dan tidak memiliki kewenangan terhadap pungutan di lapangan, seperti portal masuk atau retribusi lain yang dikeluhkan supir.
“Keluhan soal portal, itu di luar ranah kami. Kami fokus memastikan sosialisasi pajak agar dapat dipahami semua pihak,” tegasnya.
Namun di sisi lain, keluhan dari para supir truk tak bisa dianggap ringan. Seorang supir yang enggan disebutkan namanya menyampaikan bahwa beban biaya di lapangan sangat berat. Ia menyebut ada tiga komponen pungutan: pajak dari Bapenda, karcis masuk, dan iuran ke paguyuban, yang jika dijumlahkan bisa mencapai Rp60 ribu sekali jalan.
“Kalau sebulan bisa ratusan ribu. Pendapatan kami kecil, manual pula, tidak semua punya alat berat. Kami bukan menolak pajak, tapi kenapa harus bayar ini-itu juga? Kami harap portal-portal itu dihapus,” ucapnya.
Menurutnya, meski secara aturan pajak dibebankan kepada pemilik tambang, dalam praktiknya beban tersebut justru dialihkan ke para supir, terutama di kawasan tambang manual seperti Gunung Gedang.
Ketua Paguyuban Penambang Kali Putih, Mbah Bajang, juga tak tinggal diam. Dalam forum itu, ia menyuarakan kegelisahan yang sudah bertahun-tahun dirasakan para penambang rakyat. Menurutnya, kesediaan membayar pajak seharusnya dibarengi dengan komitmen pemerintah mempercepat proses legalisasi izin tambang.
“Pajak itu kewajiban, kami siap bayar. Tapi bagaimana nasib izin kami? Sudah diajukan berkali-kali, tapi seperti hilang di tengah jalan. Kami merasa dianaktirikan,” keluhnya.
Ia juga mengkritik birokrasi perizinan yang dinilai tidak ramah terhadap penambang kecil. Mayoritas pelaku tambang manual hanya mengandalkan alat sederhana dan modal terbatas, tetapi menghadapi prosedur perizinan yang panjang dan mahal.
“Kami ini bukan hanya gali pasir, kami juga bangun jalan, bantu warga sekitar. Tapi tidak ada legalitas yang kami terima. Apakah izin hanya untuk pengusaha besar?” ujarnya, menyentil keadilan dalam regulasi.
Baik supir truk maupun penambang berharap agar kebijakan pajak tambang yang tengah digalakkan Pemkab Blitar tidak menjadi beban sepihak tanpa kepastian hukum. Mereka meminta pemerintah daerah aktif menjembatani aspirasi ke instansi teknis dan kementerian terkait.
“Sekarang ratusan penambang manual berharap pada konsistensi Pemkab. Jangan hanya menarik pajak, tapi juga perjuangkan nasib kami agar legal dan diakui,” tutup Mbah Bajang. (Zan)