BERITABERSATU.COM, SINJAI – Mimpi pembangunan dan investasi di Kabupaten Sinjai kembali menyerempet batas logika lingkungan. Wacana pembangunan pabrik porang dan rumput laut di kawasan pesisir Sinjai Utara, tepatnya di Jalan Halim Perdanakusuma, Kelurahan Lappa, kini bukan hanya menuai harapan, tapi justru menguak potensi ancaman besar. Pasalnya, hutan mangrove yang seharusnya menjadi benteng alami terakhir di area tersebut, telah dibabat habis.
PT KOMJAC NUSANTARA disebut-sebut sebagai pengelola proyek yang mengundang kekhawatiran ini. Penggusuran kawasan mangrove atas nama investasi memunculkan keresahan yang mendalam, mengingat Sinjai tak hanya kekurangan pemecah ombak, tapi juga semakin kehilangan area serapan air alami. Tanpa itu semua, air laut yang naik saat pasang dan hujan deras berpotensi menyebabkan banjir genangan yang mengancam wilayah permukiman warga.
Jejak Rekam Perusahaan yang Mencurigakan
Kekhawatiran publik semakin menguat setelah kemunculan nama PT KOMJAC NUSANTARA dikaitkan dengan perusahaan bernama serupa, yaitu PT Newstar Konjak Nusantara, yang diketahui mengalami persoalan hukum dan lingkungan di Madiun, Jawa Timur pada tahun 2023. Meskipun belum terbukti secara resmi memiliki koneksi, kedua perusahaan ini dinilai publik memiliki pola dan pendekatan bisnis yang nyaris identik, memicu pertanyaan besar tentang rekam jejak dan integritas investasi yang masuk ke Sinjai.
Olivia, anggota DPRD Sinjai dari Fraksi PKB, dengan tegas meminta pemerintah kabupaten untuk tidak memandang persoalan ini sebelah mata. “Kami mendesak Pemkab Sinjai untuk membuka mata dan menelusuri legalitas dan afiliasi pemilik dua perusahaan tersebut. Jangan sampai masyarakat Sinjai hanya dijadikan tameng proyek bermodal bendera asing dan mengabaikan dampak jangka panjang,” ungkap Olivia.
Pertanyaan publik sangat sederhana: mengapa kawasan hutan mangrove bisa dibabat begitu saja tanpa kajian komprehensif dan keterbukaan publik? Lebih jauh, tidak ada jaminan bahwa investasi ini tidak akan mengulangi luka ekologis yang pernah terjadi di daerah lain.
Legalitas Administratif Vs Keberlanjutan Lingkungan
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sinjai, Lukman Dahlan, kepada media menyatakan bahwa pihak pengelola sudah memiliki izin usaha. “Telah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB),” ucap Lukman.
Namun, di mata para pegiat lingkungan, pernyataan tersebut bukanlah jawaban, apalagi solusi. Legalitas administratif seperti NIB dinilai tidak cukup untuk menjamin bahwa pembangunan dilakukan dengan asas keberlanjutan lingkungan. “Apa artinya NIB jika di lapangan yang terjadi justru penghancuran alam dan pemicu bencana ekologis?” ujar salah satu aktivis lingkungan yang menolak disebutkan namanya.
Mangrove bukan hanya tanaman pesisir biasa. Ia adalah sistem pertahanan pertama dari gempuran air laut pasang, banjir pesisir, hingga limpasan air hujan. Mengganti ekosistem penting ini dengan bangunan industri tanpa studi dampak lingkungan yang menyeluruh adalah pembiaran terhadap bencana yang direncanakan.
Bila benar ada hubungan antara PT KOMJAC dan PT Newstar, maka kegagalan verifikasi ini bukan sekadar kecolongan administratif, melainkan kelalaian struktural. Pemerintah daerah dituntut hadir secara penuh, tidak cukup hanya dengan memeriksa dokumen, tetapi menelisik jejak rekam para investor yang datang.
Sinjai tidak butuh investasi yang berwajah manis tapi menyimpan bahaya. Pembangunan berkelanjutan bukan tentang cepatnya berdiri pabrik, tapi tentang masyarakat yang tetap bisa tinggal dan hidup tanpa ancaman banjir di tanahnya sendiri. (*/Red)