DPRD Sulsel Bongkar Kejanggalan Sewa Lahan Pemkab Lutim ke PT IHIP

by Ardin
0 comments

BERITABERSATU.COM, MAKASSAR — Polemik penyewaan lahan milik Pemerintah Kabupaten Luwu Timur (Lutim) kepada PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP) kian menguat setelah pernyataan pemerintah daerah yang menyebut kerja sama tersebut tidak memerlukan pelibatan DPRD mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Kamis (18/12/2025).

Dalam forum resmi itu, perwakilan Pemkab Lutim menyampaikan bahwa nilai sewa lahan hanya sebesar Rp4,5 miliar sehingga dinilai tidak memenuhi ambang batas yang mensyaratkan persetujuan DPRD. Argumentasi tersebut sontak memantik reaksi keras dari kalangan legislatif provinsi.

Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Kadir Halid, secara terbuka mengaku terkejut dengan skema kerja sama sewa lahan yang dilakukan tanpa melibatkan DPRD Luwu Timur. Menurutnya, praktik semacam itu tidak lazim dalam tata kelola pemerintahan daerah.

“Terus terang kami kaget. Sepanjang empat periode saya di DPRD Provinsi Sulsel, tidak pernah ada kerja sama dengan pihak swasta yang tidak melibatkan DPRD,” tegas Kadir.

Politisi Partai Golkar itu menambahkan, meskipun kerja sama tersebut diklaim hanya berbentuk sewa lahan dan bukan pelepasan aset, DPRD tetap semestinya dilibatkan sebagai bagian dari fungsi pengawasan.

“Contohnya kerja sama Hotel Rinra atau kebun binatang di Benteng Somba Opu, semuanya melibatkan DPRD. Jadi kasus ini kami nilai janggal,” ujarnya.

Selain soal prosedur, DPRD Sulsel juga menyoroti nilai sewa lahan yang dinilai tidak sebanding dengan skala investasi yang diklaim masuk. Isu ini sebelumnya disorot oleh anggota DPRD Sulsel asal Luwu Timur, Esra Lamban.

“Ini sangat tidak masuk akal. Investasi disebut mencapai ratusan triliun, tapi uang yang masuk ke daerah hanya sekitar Rp4 miliar. Tanah masyarakat di Desa Harapan saja bisa Rp400 ribu per meter,” kata Esra dalam RDP.

*Dinilai Akrobat Logika Kebijakan*

Pengamat kebijakan publik sekaligus Direktur The Sawerigading Institute (TSI), Asri Tadda, menilai argumentasi Pemkab Lutim sebagai penyederhanaan logika yang problematik dan berpotensi menyesatkan.

“Yang disampaikan Pemkab dalam RDP itu keliru secara logika kebijakan. Rp4,5 miliar bukan nilai kontrak keseluruhan, melainkan hanya pembayaran lima tahun pertama dari total masa sewa 50 tahun,” ujar Asri, Jumat (19/12/2025).

Menurutnya, dengan durasi sewa setengah abad, nilai kontrak minimal secara rasional mencapai Rp45 miliar. Menjadikan Rp4,5 miliar sebagai dasar untuk menghindari pelibatan DPRD dinilainya sebagai bentuk akrobat logika kebijakan.

“Dalam hukum perjanjian, itu bukan nilai transaksi penuh, melainkan pembayaran awal. Mengabaikan durasi kontrak sama saja dengan mengaburkan substansi kesepakatan,” tegasnya.

Asri mengingatkan, dalam tata kelola aset daerah, keputusan yang diambil tanpa memenuhi prosedur—termasuk mekanisme persetujuan legislatif—berpotensi cacat secara formil.

“Jika sejak awal keputusan ini tidak melibatkan DPRD dengan dalih angka Rp4,5 miliar, maka konsekuensi hukumnya nyata. Keputusan tersebut bisa diuji, dibatalkan, atau dipersoalkan di kemudian hari,” jelasnya.

Ia menambahkan, apabila pemisahan nilai kontrak dilakukan secara sadar untuk menghindari mekanisme pengawasan DPRD, maka persoalannya tidak lagi bersifat administratif.

“Itu sudah masuk wilayah dugaan penyalahgunaan kewenangan, apalagi jika berdampak pada hilangnya fungsi pengawasan atas aset strategis daerah,” katanya.

Asri juga menilai klaim Pemkab Lutim yang disampaikan dalam RDP membuka ruang konflik politik antara eksekutif dan legislatif, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.

“DPRD punya hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Jika hak-hak ini digunakan, isu sewa lahan ini bisa berkembang menjadi krisis politik lokal,” ujarnya.

Risiko tersebut, lanjut Asri, semakin besar mengingat kontrak sewa berlangsung selama 50 tahun dan akan diwariskan lintas rezim pemerintahan.

“Kontrak jangka panjang yang sejak awal berdiri di atas fondasi prosedural rapuh hampir pasti memicu gugatan hukum, protes sosial, dan resistensi politik di masa depan,” tambahnya.

*Ironi Proyek Strategis Nasional*

Ironi muncul karena kawasan industri yang dikembangkan PT IHIP berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN). Asri menilai janggal ketika pemerintah daerah justru memperlakukan kerja sama aset tersebut seolah tidak strategis demi menghindari kewajiban akuntabilitas.

“Kalau proyek PSN saja diperlakukan seolah tidak strategis saat menyentuh persetujuan DPRD, publik wajar curiga. Jangan sampai label strategis hanya dipakai untuk mempermudah perizinan,” kritiknya.

Ia menegaskan, DPRD sejatinya bukan penghambat investasi, melainkan pelindung hukum dan politik bagi pemerintah daerah.

“Menghindari DPRD mungkin terasa praktis hari ini. Tapi dalam hukum dan politik, jalan pintas hampir selalu berubah menjadi jalan buntu,” pungkas Asri.

*Celah Korupsi dan Pelanggaran UU

Direktur Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Andi Fadli Ahmad, menilai penyewaan lahan milik Pemkab Lutim kepada PT IHIP berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan karena tidak melibatkan DPRD Luwu Timur.

Menurut Fadli, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas mewajibkan persetujuan DPRD dalam kerja sama pemanfaatan aset daerah yang bersifat strategis.

“UU itu jelas mengatur bahwa pemerintah daerah wajib memperoleh persetujuan DPRD jika melakukan kerja sama dengan pihak swasta dalam pemanfaatan aset strategis yang berdampak luas bagi masyarakat,” ujar Fadli, Jumat (19/12), di Makassar.

Ia menilai lahan seluas 394,5 hektare yang disewakan kepada PT IHIP untuk kawasan industri jelas masuk kategori aset strategis karena berimplikasi besar terhadap kepentingan publik, sosial, dan ekonomi masyarakat sekitar.

Tidak dilibatkannya DPRD, kata Fadli, mencerminkan penghindaran prinsip akuntabilitas dan transparansi.

“Alasan nilai di bawah Rp5 miliar mungkin sah secara administratif, tetapi justru membuka potensi kebocoran anggaran dan korupsi. Apalagi ini aset besar dengan dampak jangka panjang,” tegasnya.

Atas kondisi tersebut, KOPEL Sulsel mendorong DPRD Luwu Timur segera menggunakan hak-hak konstitusionalnya, mulai dari hak interpelasi hingga pembentukan panitia khusus (pansus) melalui hak angket.

“Langkah cepat DPRD penting agar persoalan ini tidak berkembang menjadi konflik sosial dan politik di kemudian hari. Pemerintah daerah dan DPRD harus duduk bersama menyelesaikannya secara terbuka dan akuntabel,” pungkas Fadli. (*/rl)

You may also like