Beritabersatu.com, Blitar – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Blitar kembali menuai kritik setelah foto dan video paket berisi telur mentah yang dibagikan kepada siswa SMPN 4 Kota Blitar viral di media sosial. Paket tersebut bahkan diberikan untuk tiga hari sekaligus, bertentangan dengan aturan distribusi harian yang seharusnya diterapkan.
Publik sontak geram. Pembagian bahan mentah dan sistem perapelan dianggap bukan hanya menabrak standar, tetapi juga berpotensi membahayakan kesehatan siswa.
Penanggung jawab MBG SMPN 4 Kota Blitar, Restu Hapsari Rahayu, membenarkan temuan tersebut dan menyebut SMPN 1 Kota Blitar mengalami hal serupa karena menggunakan penyedia yang sama.
“Soal telur mentah memang benar, dan itu dirapel untuk tiga hari. SMPN 1 juga begitu karena SPPG-nya sama,” ungkapnya, Selasa (9/12/2025).
Namun ia menegaskan sekolah tidak pernah meminta telur mentah maupun distribusi rapel. Menurutnya, sekolah hanya mengajukan menu keringan karena memasuki masa class meeting.
“Itu bukan permintaan kami. Kami hanya minta menu keringan. Tidak ada instruksi untuk merapel tiga hari,” tegasnya.
Di sisi lain, Kepala Dapur SPPG YASB Sananwetan, Ahmad Habibi, memberikan pernyataan bertolak belakang. Ia mengklaim perapelan dan pemberian telur mentah dilakukan atas permintaan pihak sekolah.
“Sesuai permintaan pihak sekolah. Karena mintanya menu keringan. Untuk telur kami kasih mentah, soalnya kalau dimasak dan disimpan buat besoknya basi,” ujarnya.
Kontradiksi pernyataan dua pihak ini membuat publik kian bingung—bahkan muak. Alih-alih menghadirkan makanan siap santap bernutrisi, MBG justru kembali memperlihatkan lemahnya pengawasan dan koordinasi antara sekolah dan penyedia.
Berdasarkan temuan di lapangan, paket yang diberikan kepada siswa berisi: 4 butir telur mentah, 2 kotak susu, 1 mangga, 1 pisang, 2 salak, 1 keju, 1 roti tawar dan 1 roti varian pandan
Bukan makanan siap santap, melainkan bahan mentah dan pangan kering yang memicu pertanyaan: apakah MBG sedang bergeser menjadi paket bahan mentah tanpa kendali kualitas?
Sebuah pesan yang beredar di grup WhatsApp—yang diduga dari pihak sekolah—menguatkan fakta bahwa menu memang dirapel, namun tidak menjelaskan apakah hal itu sesuai petunjuk teknis.
Salah satu wali murid menyampaikan protes keras.
“Kalau program ini untuk gizi anak, harusnya diberi makanan layak setiap hari. Bukan dikasih bahan mentah begitu saja. Anak-anak kan bukan tukang masak,” kritiknya.
Ia juga menyoroti minimnya transparansi antara sekolah, penyedia, dan pemerintah.
Kemarahan publik makin memuncak. Sejumlah elemen masyarakat menuntut audit total terhadap penyedia MBG, evaluasi prosedur distribusi, hingga kemungkinan pencabutan izin operasional bila ditemukan pelanggaran.
Program MBG yang seharusnya menjadi penopang gizi harian siswa kembali menunjukkan celah besar: pengawasan lemah, komunikasi tidak sinkron, distribusi tak sesuai standar, dan minim transparansi.
Ketika pihak-pihak terkait justru saling melempar tanggung jawab, siswa—yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama—malah menjadi pihak paling dirugikan. (Zan)