Beritabersatu.com, Blitar – Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) menyoroti praktik pengembalian merek yang telah dihapus lantaran tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu. Ketua Umum DPP IPHI, Rahmat Santoso, menilai langkah tersebut berpotensi merugikan pelaku usaha, investor, hingga pekerja di sektor terkait.
Sorotan ini berawal dari kasus hukum yang tertuang dalam LP No. B/586/VIII/2024/SPKT Polda Bali tertanggal 16 Agustus 2025 di Unit IV Subdit I Ditreskrimsus. Dalam kasus tersebut, pengembalian merek yang sebelumnya sudah dihapus berujung pada penyitaan ribuan barang dagangan dan penutupan sejumlah gerai usaha, sehingga mengganggu aktivitas ekonomi dan menimbulkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Rahmat menjelaskan, prinsip penghapusan merek karena non-use sebenarnya merupakan bagian dari hukum nasional untuk mencegah penimbunan hak serta melindungi pemilik merek yang produktif.
“Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya, merek yang sudah dihapus justru bisa dikembalikan. Ini menimbulkan kejanggalan hukum dan merusak kepastian bagi pelaku usaha,” ujar Rahmat, Selasa (11/11/2025).
Kasus ini bermula dari putusan Mahkamah Agung tahun 2001 yang menghapus merek atas nama Mohindar H.B. karena tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut. Sesuai ketentuan undang-undang merek, penghapusan itu sah secara hukum.
Kemudian pada tahun 2007, pengusaha Fong Felix mendaftarkan merek “POLO KIDS” dan sejak saat itu menjalankan investasi di bidang produksi, tenaga kerja, rantai pasok, serta membuka gerai resmi. Fong Felix tercatat sebagai pemegang sah sejumlah merek dagang terdaftar, seperti LOGO ORANG MENUNGGANG KUDA, RLPCPolo, dan NAVYPOLORALPHLAUREN untuk kelas 25.
Namun, tiba-tiba muncul klaim pengembalian hak merek yang sebelumnya telah dihapus melalui putusan MA. Pengembalian itu, kata Rahmat, telah mengganggu kelangsungan usaha kliennya.
“Bagaimana bisa hak atas merek yang sudah dihapus bisa kembali berlaku? Ini harus dijelaskan dasar hukumnya,” tegas Rahmat, yang bersama Petrus Bala Pattyona bertindak sebagai penasihat hukum Fong Felix.
Rahmat menilai, penghapusan merek semestinya menghapus seluruh hak pendaftar sebelumnya, kecuali ada alasan hukum yang sah, seperti pembatalan putusan penghapusan berdasarkan novum yang kuat. Ia bahkan menduga adanya putusan ultra petita, yaitu putusan yang melampaui apa yang dimohonkan.
“Jika yang dikembalikan adalah merek dengan nama atau etiket yang berbeda dari sertifikat aslinya, maka itu jelas bermasalah secara hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rahmat meminta sistem peradilan dan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) untuk memberikan transparansi penuh atas dasar hukum pengembalian merek tersebut.
Ia juga menyampaikan tiga poin tuntutan:
1. Penyidik Polda Bali diminta menunda proses penyidikan hingga perkara di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (Nomor 114/Pdt.Sus-HKI/Merek/2025/PN.Jkt.Pst) berkekuatan hukum tetap.
2. Sistem peradilan diharapkan bersikap adil dan terbuka dalam menjelaskan dasar yuridis atas putusan yang menghidupkan kembali merek yang sudah dihapus.
3. DJKI diminta segera memberi penjelasan administratif terkait status merek serta perlindungan sementara bagi pemegang merek yang masih beroperasi produktif.
Selain itu, Rahmat menegaskan bahwa selama masih ada gugatan pembatalan merek Mohindar H.B., maka gerai milik Fong Felix di Bali semestinya diizinkan beroperasi kembali.
“Perlindungan hukum harus menjamin kepastian dan keadilan bagi pemakai yang produktif. Jika prosedur dilanggar, ini bisa menjadi preseden buruk bagi dunia usaha nasional,” pungkas Rahmat. (Zan)