Beritabersatu.com, Blitar – Ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pendukung Reforma Agraria (AMPERA) memadati halaman Kantor Kabupaten Blitar, Rabu (29/10/2025). Aksi yang dikawal ketat aparat Polres Blitar itu berlangsung tertib namun penuh tekanan moral: desakan agar negara menepati janji konstitusional tentang reforma agraria yang mandek di Kecamatan Nglegok.
Di bawah terik matahari, mereka mengangkat poster bertuliskan “Tanah untuk Rakyat, Bukan untuk Mafia!” sembari berorasi bergantian.
Bupati Blitar, Rijanto, akhirnya turun tangan langsung menerima perwakilan massa. Pertemuan itu menjadi momen penting di tengah kegelisahan panjang warga Desa Modangan, Gadungan, dan Sumberagung, yang sejak bertahun-tahun menanti kejelasan redistribusi lahan di eks areal PT Rotorejo Kruwuk dan PT Veteran Sri Dewi.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan di tengah aksi, Koordinator AMPERA Ibnu Haris Pri Handoko menuding negara gagal menegakkan hukum yang telah dibuatnya sendiri.
Ia menyoroti macetnya pelaksanaan SK Kepala Kanwil BPN Jawa Timur Nomor 233/SK-35.NP.02.03/XII/2021, yang menetapkan tanah di Modangan sebagai objek redistribusi reforma agraria. Hingga kini, sekitar 30 hektare lahan belum juga diserahkan kepada masyarakat penerima yang sah.
“Kami tidak sedang menghadapi anomali lokal, tetapi kegagalan negara mengontrol ruang hidupnya. PT Rotorejo Kruwuk telah menjadi cermin kebobrokan sistem agraria nasional,” tegas Ibnu di tengah orasi.
AMPERA menuntut GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria) dan BPN Blitar segera mengeksekusi redistribusi tanah secara adil, transparan, dan bebas dari praktik KKN.
Mereka juga menagih realisasi kesepakatan 30 September 2025 yang disepakati di Aula BPN Blitar bersama Komisi III DPRD Kabupaten Blitar. Kesepakatan itu dinilai tinggal janji tanpa makna jika tak disertai penyerahan sertifikat redistribusi yang konkret.
Dalam dokumen resmi AMPERA, disebutkan bahwa PT Rotorejo Kruwuk memiliki sejarah hukum panjang: mulai dari Hak Erfpacht masa kolonial, kemudian menjadi HGU PT Perkebunan Candiloka, hingga akhirnya diambil alih negara pada 1998.
Perusahaan tersebut bahkan telah menyerahkan 130 hektare lahan untuk mendukung program reforma agraria. Namun, menurut AMPERA, pemerintah justru abai dan membiarkan lahan-lahan itu “diganggu” oleh mafia tanah.
“Negara seolah tunduk pada sindikat tanah yang berjejaring kuat. Ini bukan sekadar konflik agraria, tapi kejahatan hukum terorganisir yang menggerogoti aset negara dan mempermalukan supremasi hukum,”
tulis AMPERA dalam pernyataannya.
AMPERA Blitar merinci empat tuntutan yang mereka sebut sebagai “garis merah perjuangan rakyat”:
1. Segera eksekusi redistribusi tanah di wilayah Perkebunan Kruwuk secara adil, transparan, dan tanpa KKN.
2. Terbitkan HGU baru bagi PT Rotorejo Kruwuk untuk lahan clear and clean sesuai hasil pembatalan status tanah terlantar oleh Kementerian ATR/BPN (18 Juli 2018).
3. Lakukan operasi hukum terpadu terhadap jaringan mafia tanah dengan melibatkan Mabes Polri, Kejaksaan Agung, KPK, PPATK, dan Ditjen Pajak.
4. Edukasi hukum dan pemberdayaan masyarakat agar penerima redistribusi memahami hak dan kewajiban mereka.
AMPERA menilai lambannya pelaksanaan kesepakatan menjadi preseden buruk bagi wibawa hukum dan kredibilitas negara.
“Jika negara tak mampu menegakkan keputusannya sendiri, ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi erosi legitimasi pemerintahan. Negara tidak boleh kalah dari mafia,”
tegas pernyataan itu.
Aktivis senior Mohammad Trijanto, yang turut mengawal aksi, menyebut gerakan AMPERA kali ini bukan sekadar aksi moral, tapi bagian dari upaya nasional mempercepat reforma agraria.
“Banyak perkebunan bermasalah. Kami meminta segera dilakukan tahapan reforma agraria dan pelaporan terhadap mafia tanah yang menghambat. Bupati kami minta merekomendasikan percepatan karena ada redis yang belum terselesaikan,”
ujar Trijanto.
Menurutnya, respon Bupati Rijanto cukup positif. Dalam pertemuan singkat, sang bupati berkomitmen menurunkan tim kecil minggu depan untuk memantau langsung kondisi lapangan dan memfasilitasi penyelesaian administrasi redistribusi.
“Kami berharap Bupati Rijanto punya lompatan legasi yang bisa dikenang anak cucu, terutama dalam menegakkan reforma agraria di Blitar,” tutup Trijanto. (Zan)