Pernikahan Dini Picu KDRT, GOW Banjarnegara Ajak Perempuan Berani Bersuara

by Syamsuddin
0 comments

BANJARNEGARA, BERITABERSATU – Ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Banjarnegara, Ibu Hj Sri Rejeki Indarto, S.E., mengajak kaum perempuan untuk berani bersuara jika mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Ia menegaskan, keberanian perempuan dalam mengungkapkan kekerasan yang dialami merupakan langkah penting untuk memutus rantai kekerasan dan membuka jalan bagi perlindungan serta pemulihan korban.

Hal itu disampaikan langsung olehnya dalam kegiatan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Aula Sasana Abdi Praja Setda Banjarnegara, Senin (6/10/2025).

“Kami mengajak seluruh perempuan untuk tidak takut bersuara jika mengalami kekerasan. Suara perempuan sangat penting, agar kasus tidak terus tersembunyi. GOW Banjarnegara akan terus berupaya menjadi mitra masyarakat dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tegas Sri Rejeki.

Melalui sosialisasi ini, Sri Rejeki berharap dapat meningkatkan kesadaran, kepedulian, dan keberanian masyarakat dalam mencegah serta menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Program ini juga diharapkan dapat memperkuat peran komunitas sebagai sistem pendukung bagi korban agar tidak lagi terdiam menghadapi kekerasan

Kegiatan sosialisasi ini diikuti perwakilan anggota GOW se-Kabupaten Banjarnegara, dengan mengusung tema “Luka yang Tak Terlihat, Dampak Psikologis KDRT”. GOW juga menghadirkan narasumber dari Pengadilan Agama dan psikolog RSUD Banjarnegara.

Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Banjarnegara, Dra. Hidayaturohman, M.H, mengungkapkan bahwa meningkatan permohonan dispensasi nikah menjadi salah satu pemicu maraknya KDRT.

“Banyak permohonan dispensasi nikah diajukan karena kehamilan di luar nikah. Pernah kami menangani kasus di mana kedua anak hanya lulusan SD. Kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan masalah rumah tangga, termasuk KDRT,” jelasnya.

Ia juga mengulas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang menjadi dasar hukum perlindungan korban dan pemulihan untuk menghapus kekerasan dalam keluarga.

Sementara itu, Psikolog RSUD Banjarnegara, Gones Saptowati, S.Psi., M.A., menyampaikan bahwa kasus KDRT di Indonesia mencapai 10.240 perkara per 4 September 2025. Namun jumlah ini diyakini hanya puncak gunung es.

“Angka itu hanya mencerminkan kasus yang dilaporkan. Jauh lebih banyak korban yang memilih diam,” ujarnya.

Lebih jauh, Gones menjelaskan bahwa pernikahan usia dini sering menjadi awal munculnya persoalan rumah tangga yang kompleks, mulai dari kekerasan fisik, tekanan ekonomi, gangguan kesehatan, hingga stunting pada anak.

Ia juga menegaskan bahwa KDRT tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi mencakup kekerasan seksual, verbal, dan psikologis.

Korban KDRT umumnya mengalami gangguan stres pascatrauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan sangat membutuhkan dukungan lingkungan untuk bangkit.

“Bagi pelaku, penyelesaian bukan hanya hukuman, tetapi juga rehabilitasi dan konseling untuk memutus siklus kekerasan,” pungkas Gones.

(Arief/Mjp)