Sekilas Catatan Opini Jurnalis, “Adaptasi” Bertugas di Banjarnegara

by Syamsuddin
0 comments

Banjarnegara, Beritabersatu – Tahun 2021 menjadi titik awal perjalanan baru saya, seorang jurnalis dari Kota Tegal, yang berpindah tugas ke Kabupaten Banjarnegara.

Secara geografis, budaya, hingga denyut politik, kedua wilayah ini memiliki karakter yang sangat berbeda.

Sebagaimana diketahui, Kota Tegal merupakan daerah yang hanya memiliki 4 Kecamatan saja. Sedangkan Kabupaten Banjarnegara 20 Kecamatan.

Bagi sebagian orang, perpindahan tempat tugas mungkin terasa biasa. Namun bagi saya, pindah dari Kota Tegal ke Kabupaten Banjarnegara bukan sekadar soal jarak.

Ini adalah perpindahan cara pandang, penyesuaian metode kerja, dan transformasi dalam memaknai profesi jurnalistik yang saya tekuni sejak tahun 2011.

Memahami Daerah Baru, Melampaui Peta dan Nama

Adaptasi adalah kunci utama dalam dunia jurnalistik, terlebih saat bertugas di wilayah baru. Saya menyadari bahwa untuk dapat menyajikan berita yang berimbang, saya perlu memahami peta sosial-politik Banjarnegara secara menyeluruh.

Oleh karena itu, saya harus tahu terlebih dahulu siapa aktor-aktor utama, bagaimana dinamika birokrasi berjalan, dan sejauh mana media berperan dalam kehidupan masyarakat setempat.

Beberapa bulan pertama saya manfaatkan bukan untuk buru-buru menulis berita, melainkan untuk mengamati dan mendengarkanya terlebih dahulu.

Saya menjalin komunikasi dengan sesama jurnalis, membangun relasi dengan aparat pemerintahan, dan membuka ruang interaksi seluas mungkin.

Langkah ini penting sebagai fondasi, agar kerja jurnalistik saya bisa tetap objektif, bertanggung jawab, dan kontekstual dengan kondisi yang ada di Kabupaten Banjarnegara.

Politik Tenang yang Menyimpan Riak Dinamis

Sekilas, Banjarnegara tampak tenang. Suasana damai, ritme hidup masyarakat yang tidak tergesa-gesa, dan nuansa pedesaan yang kuat seakan memberi kesan bahwa daerah ini jauh dari hiruk-pikuk politik.

Namun, kesan itu segera luruh ketika saya mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banjarnegara untuk pertama kalinya.

Dalam sebuah obrolan dengan salah satu anggota dewan, saya bertanya, “Seperti apa sih, politik di Kabupaten Banjarnegara?.

Beliau menjawab, “Di sini damai, Mas. Tapi jangan salah, meski tampak tenang, kami tetap dinamis. Semua bergerak, semua punya arah untuk mensejahterakan masyarakat.”

Pernyataan itu menjadi penanda awal bahwa di balik ketenangan Banjarnegara, terdapat dinamika politik yang hidup dan patut dicermati.

Saya pun mulai mengamati dengan lebih saksama bagaimana birokrasi bekerja, baik di tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa. Dari situ saya tahu bahwa setiap wilayah memiliki kultur komunikasi dan pola relasi yang khas.

Membangun Relasi, Bukan Sekadar Akses Informasi

Di Banjarnegara, saya harus lebih telaten, sabar, dan membangun relasi berdasarkan kepercayaan. Pendekatan personal menjadi penting, dan salah satu nilai kearifan lokal yang sangat saya rasakan adalah “peseduluran” yang berarti persaudaraan.

Nilai ini menjadi semacam bumbu halus dalam dinamika politik di Banjarnegara. Kadang memperlancar komunikasi, kadang pula menyamarkan ketegangan yang sedang berlangsung.

Maka, saat saya menulis isu-isu politik, saya harus benar-benar cermat dalam memilih diksi, menyusun kutipan, dan membingkai narasi agar tetap tajam namun berimbang.

Independensi menjadi kompas utama. Di tengah riak kepentingan, baik dari tokoh politik, partai politik, maupun kelompok tertentu. Oleh karenanya, saya harus tetap berada di posisi netral alias tidak memihak sana sini.

Riuh Politik di Tahun Pemilu

Ketika memasuki tahun politik 2024, perubahan iklim sosial-politik Banjarnegara begitu terasa. Poster-poster caleg memenuhi jalanan. Warung kopi berubah menjadi forum diskusi dadakan. Di media sosial adu gagasan, bahkan perdebatan terlihat semakin intens.

Di tengah suasana itu, tanggung jawab jurnalistik menjadi semakin besar. Setiap berita, setiap kalimat, bisa berdampak signifikan pada persepsi publik.

Maka kehati-hatian menjadi mutlak, tanpa mengorbankan kejelasan dan keberanian dalam menyampaikan fakta.

Saya ingat satu momen ketika sedang menikmati kopi hitam made in Banjarnegara di sebuah warung. Seorang warga yang tidak saya kenal bertanya, “Mau pilih siapa, Mas?”

Saya hanya tersenyum. Sebagai jurnalis, pilihan politik saya adalah untuk tetap menjadi pengamat yang tajam, bukan peserta. Justru yang menarik bagi saya adalah bagaimana opini publik terbentuk, berkembang, dan terkadang berubah hanya karena satu isu atau satu peristiwa.

Dari Durian hingga Aspirasi Warga

Banjarnegara juga punya sisi kehidupan yang khas dan menyenangkan. Saat musim durian tiba, suasana menjadi lebih semarak. Para pedagang menjajakan durian lokal dengan aroma kuat dan rasa manis yang khas.

Momen ini sering saya manfaatkan untuk mendekat pada warga. Sambil menikmati durian, saya mendengarkan keluh kesah mereka tentang harga pupuk, tentang harapan akan pemimpin yang lebih peduli, hingga kritik pada pelayanan publik.

Percakapan-percakapan semacam itu jauh lebih jujur dan menggambarkan realitas sosial yang kadang tak tercatat di rapat-rapat formal.

Bagi saya, jurnalisme bukan sekadar profesi, tetapi bentuk pengabdian. Peran jurnalis adalah menjadi mata dan telinga publik, serta menyuarakan aspirasi yang sering kali tak terdengar.

Selama hampir empat tahun bertugas di Banjarnegara, saya mengalami perubahan signifikan, baik secara profesional maupun pribadi. Saya belajar menjadi lebih sabar, lebih terbuka, dan lebih peka terhadap konteks di Kabupaten ini.

Kini, Banjarnegara bukan lagi sekadar tempat tugas bagi saya. Tetapi menjadi bagian dari narasi hidup saya. Dari kopi hingga durian, dari pertemuan hingga percakapan di warung kopi, semuanya menyatu dalam ritme kehidupan jurnalistik saya.

Epilog: Bukan Lagi Orang Luar

Terkadang, saya masih merindukan Kota Tegal dengan gaya komunikasinya, ritme kehidupanya, dan suasananya. Namun rindu itu, tidak menggerus semangat saya untuk terus bertugas di Banjarnegara. Justru perbedaan itulah yang membuat saya semakin adaptif.

Banjarnegara mengajarkan saya pentingnya membaca situasi secara utuh. Peta politik di sini meski tampak sederhana, namun menyimpan kompleksitas yang menantang.

Kini, setiap kali saya menulis, saya tidak lagi merasa sebagai orang luar. Saya adalah bagian dari Banjarnegara yang tumbuh bersama dinamika politiknya, mendengar denyut nadinya, dan menjadi saksi atas perubahan-perubahan kecil yang terjadi setiap hari.

Perjalanan saya sebagai jurnalis dari Tegal ke Banjarnegara adalah cerita tentang beradaptasi, dan berkontribusi. Sebuah cerita yang akan terus saya tulis, selama saya masih punya pena untuk mencatat dan telinga untuk mendengar. (**)

Penulis : Arief Ferdianto

You may also like