Beritabersatu.com, Blitar – Kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Kota Blitar terus bergulir. Setelah Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar menetapkan lima orang tersangka baru pada Selasa, 3 Juni 2025, kuasa hukum salah satu tenaga fasilitator lapangan (TFL), Gladi Tri Handono, angkat bicara membantah keterlibatan kliennya dalam pengelolaan dana proyek.
Suyanto, S.H., M.H., selaku penasihat hukum Gladi, menyampaikan bahwa proyek tersebut merupakan kegiatan pemerintah yang dilaksanakan melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Blitar. Proyek ini meliputi pembangunan IPAL, tangki septik komunal, dan sambungan rumah, yang tersebar di empat titik wilayah.
“Untuk pembangunan IPAL, tangki septik komunal, dan sambungan rumah, yang merupakan proyek pemerintah itu dilaksanakan kepada masyarakat melalui Dinas PUPR,” ujar Suyanto.
PUPR kemudian bekerja sama dengan empat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sebagai pelaksana proyek, yaitu:
• KSM Wiroyudan
• KSM Dayakan
• KSM Turi Bangkit
• KSM Mayang Makmur 2
Total anggaran yang dikucurkan untuk proyek di empat titik tersebut mencapai sekitar Rp1,4 miliar, dengan masing-masing KSM menerima dana proyek antara Rp125 juta hingga Rp478 juta.
Dalam pelaksanaannya, PUPR menunjuk tiga orang TFL untuk mendampingi proses pengerjaan. Gladi Tri Handono ditunjuk sebagai TFL pemberdayaan, sedangkan dua lainnya, Jamrozi dan Januar Erik, bertugas sebagai TFL teknik.
“TFL itu sifatnya membantu dan mendampingi KSM dalam pengerjaan proyek tersebut,” jelas Suyanto.
“Tugas mereka bukan sebagai pengelola dana. Mereka hanya diberi honor bulanan sekitar Rp3 juta dari Dinas PUPR. Yang mengelola dan mencairkan dana adalah para ketua KSM.”
Menurutnya, proyek yang berlangsung selama delapan bulan tersebut telah rampung dan telah diserahkan kepada PUPR, sebelum akhirnya diberikan kepada masyarakat sebagai penerima manfaat.
“Proyek 8 bulan tersebut telah berjalan dan selesai, kemudian diadakan penyerahan kepada PUPR sebagai PPK dan kemudian oleh PUPR diserahkan kepada masyarakat. Sejak 2022 sudah dimanfaatkan oleh masyarakat,” tegasnya.
Namun, berdasarkan temuan penyidik Kejari Blitar, terdapat sejumlah pelanggaran prosedur dalam proyek tersebut, termasuk dugaan penguasaan dana hibah oleh ketua KSM tanpa melibatkan bendahara TPS-KSM sebagaimana mestinya. Penyidik juga menemukan adanya pelimpahan pembuatan dokumen teknis proyek kepada pihak luar tanpa proses verifikasi yang memadai.
Kelima tersangka yang ditetapkan Kejari Blitar yaitu:
1. TK – Ketua KSM Wiroyudhan
2. AW – Ketua KSM Turi Bangkit
3. MH – Ketua KSM Mayang Makmur 2
4. HK – Ketua KSM Ndaya’an
5. SY – Pengguna Anggaran sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Dinas PUPR
Kejari menyatakan bahwa dalam proses pertanggungjawaban keuangan, para ketua KSM bahkan menyerahkan nota kosong kepada pihak luar, yaitu Gladi Tri Handono (GTH), Jamrozi (MJ), dan seorang tersangka lain berinisial YES, untuk disusun sebagai laporan keuangan proyek.
Menyikapi penetapan tersangka terhadap Gladi dan Jamrozi, pihak kuasa hukum mempertanyakan mengapa satu TFL lain, Januar Erik, tidak turut diproses.
“Kami juga mempertanyakan kenapa satu orang lagi dari TFL tidak dipanggil sebagai tersangka. Padahal surat perintah kerja dari PUPR itu menyebutkan bahwa mereka bertiga satu paket,” kata Suyanto.
Ia juga menyebut adanya ketidaksesuaian temuan dari inspektorat dengan surat perintah dari Wali Kota, dan menilai bahwa semua temuan teknis telah diperbaiki serta proyek telah digunakan masyarakat.
“Kalau memang ada kerugian negara, biasanya akan ada sanksi administratif seperti pengembalian uang. Tapi ini tidak ditemukan kerugian, hanya ada rembesan yang sudah diperbaiki,” pungkasnya.
Polemik ini menambah panjang daftar persoalan dalam pelaksanaan proyek swakelola berbasis masyarakat. Meski proyek telah dimanfaatkan, proses hukum tetap berlanjut dan membuka perdebatan tentang batas tanggung jawab antara pelaksana teknis dan fasilitator lapangan.(zan)