Beritabersatu.com, Blitar – Tim Panca Gatra Indonesia melaporkan eks Bupati Blitar Rini Syarifah atau Mak Rini ke polisi atas tudingan kasus mafia tanah. Laporan ini merupakan buntut dari konflik agraria di Dusun Banjarsari Desa Wonotirto yang tak kunjung terselesaikan.
Laporan tersebut juga menyeret beberapa nama di tubuh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Blitar dan Pemerintah Desa (Pemdes) Wonotirto.
“Kami telah melaporkan Mak Rini selaku bupati saat itu, bersama aparaturnya sebagai mafia tanah. Mereka berusaha merampas tanah rakyat, berkedok program perhutanan sosial. Masalahnya, lahan tersebut adalah tanah adat,” kata Ketua Tim Panca Gatra Yusuf Wibisono, Jumat 28 Februari 2025.
Menurut warga yang tergabung dalam kelompok masyarakat (Pokmas) Maju Terus, lahan di Dusun Banjarsari telah ditinggali dan digarap oleh leluhur mereka sejak tahun 1938.
Lahan itu sendiri diklaim merupakan bekas tanah Desa Banjaran yang warganya terusir pada zaman penjajahan Belanda. Namun, kala itu beberapa warga memilih untuk tetap tinggal. Para warga yang tetap bertahan inilah yang menjadi cikal bakal penduduk Dusun Banjarsari sekarang.
Kini, lahan seluas 1.014 hektar tersebut tengah diajukan ke Pemerintah Pusat untuk dilakukan redistribusi. Di tengah upaya itu, Panca Gatra selaku pendamping Pokmas Maju Terus menuding Mak Rini melalui Dinas Perkim memanipulasi warga agar setuju pada program perhutanan sosial dibandingkan mengajukan redistribusi tanah.
“Harusnya dijelaskan semua kalau masyarakat cuma dikasih sertifikat seluas rumahnya saja. Mau menambah untuk dibuat toilet saja tidak boleh, apalagi untuk hewan ternak. Kalau dinas menjelaskan ini semua, saya yakin semua warga akan menolak,” bebernya.
Senada dengannya, penasehat hukum Tim Panca Gatra, Dr Supriarno SH MH, menyebut pihaknya telah meminta program perhutanan sosial tersebut dihentikan sejak 25 Januari 2024 silam. Namun, ia menganggap Dinas Perkim terus melakukan manuver secara sembunyi-sembubyi.
“Dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh Dinas Perkim dan Pemerintah Desa. Kadang turun dua sampai 5 orang untuk mempengaruhi masyarakat. Seolah-olah baik, padahal tujuannya untuk merampas hak rakyat atas tanah,” jelas Supriarno.
Jebolan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini juga menerangkan bahwa, Dinas Perkim melakukan manipulasi kepada masyarakat dengan tidak menjelaskan konsep perhutanan sosial secara lengkap.
“Masyarakat dijanjikan sertifikat, tapi sertifikat seperti apa tidak dijelaskan. Padahal dalam perhutanan sosial itu, sertifikatnya kolektif dan hanya seluas satu rumah saja. Selebihnya menjadi lahan hutan yang dapat dikelola dengan sistem bagi hasil,” paparnya.
Dia juga mengungkapkan bahwa laporan Panca Gatra ini telah ditindaklanjuti oleh Polres Blitar, dengan langsung menerjunkan tim ke lapangan. Sekaligus ia mengapresiasi langkah Polres Blitar yang sigap menangani perkara ini.
“Karena kasus mafia tanah jika tidak secepatnya ditangani, akan menyebabkan konflik besar. Di Indonesia sudah banyak contohnya, biang keroknya adalah para mafia tanah seperti ini,” pungkas Supriarno.
Sementara itu, Kepala Dinas Perkim Kabupaten Blitar Iwan Dwi Winarno saat dikonfirmasi membantah seluruh tudingan yang dilayangkan Panca Gatra. Menurutnya, Dinas Perkim hanya menjalankan program Pemerintah Pusat sesuai ketentuan yang ada, yakni perhutanan sosial. Dirinya juga mengatakan wilayah tersebut masuk ke dalam Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
“Ujungnya ada dua metode. Hunian rumah tinggal, fasilitas umum dan sosial akan menjadi sertifikat. Sedangkan tanah garapan menjadi hak pengelolaan perhutanan sosial selama 35 tahun dan bisa diperpanjang,” terang Iwan.
Ia juga menampik jika pihaknya tidak menjelaskan secara komprehensif kepada masyarakat, terkait konsep perhutanan sosial. Dalam hal ini, Dinas Perkim sebagai pemangku wilayah hanya memfasilitasi program Kementerian LHK, sesuai ketentuan dan regulasi yang ada.
“Sudah kami jelaskan semua. Terkait Surat Keputusan (SK) memang kolektif. Tapi, itu akan menjadi dasar untuk kami serahkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), guna menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). Terkait SHM-nya, ya masing-masing,” tegasnya.
Terkait laporan Panca Gatra ke Polres Blitar, Iwan mengaku belum mendengarnya. Namun, dirinya memastikan bahwa Dinas Perkim telah bekerja sesuai regulasi dan mendukung program kerja Pemerintah Pusat.
“Saya baru kali ini dengar. Kalau soal tudingan mafia tanah, kami dari Dinas Perkim hanya mendukung program-program dari pemerintah pusat. Kami hanya menjadi fasilitator sesuai ketentuan yang ada, termasuk menyosialisasikan program perhutanan sosial kepada masyarakat,” tandasnya. (Zan)