Issue Domisili Adalah Issue yang Tidak Produktif di Pilkada Sinjai

by redaksi
0 comments

OPINI, BB — Menjelang perhelatan pemilihan kepala daerah di kabupaten Sinjai, turbulensi politik kian terasa. Saat ini realitas sosial menunjukkan bahwa sosialisasi tidak hanya berfokus pada penyampaian konsep pembangunan yang akan dibawa dari para calon sesuai dengan data dan fakta yang diperkenalkan. Seakan tidak bisa dihindari, fenomena saling serang antarkandidat dan pendukung dengan sentimen negatif juga sering kita temui.

Dalam dunia politik dan pemasaran, istilah sentimen negatif sering kali mencuat dan mendapat perhatian masyarakat. Sentimen negatif dengan penggiringan opini dan argumen atau argumentum ad hominem dalam etika komunikasi dianggap sebagai kesesatan logika atau cacat logika. Dianggap demikian karena hal tersebut keluar dari substansi dengan menyerang pribadi, daerah asal, suku, ras, agama dan gender. Pola-pola ini berseberangan dengan regulasi yang sudah diatur dan disepakati bersama dalam konstitusi.

Opini atau argumen negatif (argumentum ad hominem) berbeda dengan Kampanye negatif. Kampanye negatif dibolehkan dalam kaidah perpolitikan, yakni kampanye yang dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik melalui data riil yang ditampilkan. Pada dasarnya, penggunaan kampanye negatif ini dipandang sah secara hukum. Bahkan, kampanye negatif dapat digunakan untuk menyoroti perbedaan di antara kandidat, sehingga membantu pemilih membuat keputusan dalam memilih para calon pemimpin.

Sedangkan penggiringan opini, argumen, sentimen negatif dalam bentuk ad hominem adalah bentuk kelemahan cara berfikir atau knowledknowledge yang rendah. Sehingga tak heran abusive ad hominem ini akan mendiskreditkan lawan dengan pola yang tak etis. Alih-alih akan mendapatkan keuntungan atau simpati masyarakat, jika hal ini dilakukan oleh pelaku politik menjelang pilkada maka akan membuat calon pemilih positif beralih ke kandidat lain. Jelas sangat merugikan kandidat, tim pendukung dan partai pengusung.

Abusive ad hominem menjelang pilkada sinjai kebanyakan berupa penggiringan opini terhadap kandidat oleh kader dan simpatisan pendukung dengan narasi orang luar, tidak domisili sinjai, pemain inport, atau kalau tidak domisili di sinjai tidak faham tentang sinjai, hingga hal-hal yang berkaitan dengan privasi rumah tangga kandidat yang didiskreditkan. Selain melanggar etika komunikasi, tentu opini negatif tersebut berseberangan dengan konstitusi akan hak-hak setiap warga negara mendapatkan hak politiknya.

Menanggapi sentimen negatif tentang istilah “hanya kandidat domisili sinjai yang faham sinjai”, adalah bentuk dari cacatnya pemahaman dalam konsep pembangunan. Sejatinya semua bakal calon yang ingin maju saat ini adalah putra-putri daerah sinjai. Soalan domisili atau tidak itu hanyalah latar pengembangan diri setiap kandidat. Ada kandidat yang merintis dan membangun kapasitas dirinya di luar daerah sebagai wujud penyerapan experiences sekaligus pembuktian kemampuan kompetitif yang dimiliki. Adalah hal yang hebat jika putra-putri sinjai membuktikan kemampuan daya saing yang dimiliki di luar daerah dan mampu membuktikan eksistensinya di luar sebelum kembali membangun daerahnya. Ini juga menjadi anti thesis dari opini negatif soal domisili. Secara faktual, assumsi bahwa hanya calon yang lahir dan domisili di daerah yang faham daerah tersebut terbantahkan oleh fakta. Banyak daerah kota kabupaten di Indonesia yang maju dan kompetitif meski tidak dipimpin oleh putra-putri yang lahir dan domisili di daerah tersebut. Satu fakta misalnya Inggris, ancaman krisis dan guncangan yang melanda ekonomi negara tersebut dapat diselamatkan oleh seorang perdana menteri terpilih keturunan india Rishi Sunak di tahun 2022.

Kemudian sentimen negatif tentang kandidat yang tidak berdomisili di sinjai juga bertolak belakang dengan aturan perundang-undangan. Artinya sentimen seperti ini menyelisihi aturan di dalam Pasal 41 UU 10/2016 jo. Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016 yang mengatur syarat seseorang menjadi calon kepala daerah. Berdasarkan syarat menjadi kepala daerah yang disebutkan di dalam undang-undang, tidak disebutkan satu ketentuan pun mengenai kewajiban calon kepala daerah harus domisili di daerah pemilihan. Sehingga, secara umum, kepala daerah tidak harus lahir, besar sekolah dan beraktivitas dan berdomisili di daerah.

Sudah saatnya masyarakat Sinjai cerdas dalam menerima narasi penggiringan opini menjelang pilkada dengan meninggalkan opini-opini yang mengarah kepada sentimen negatif apalagi issu-issu yang bersifat abusive ad hominem. Sesuai dengan slogan Sinjai sebagai Bumi Panrita Kitta’, sudah selayaknya masyarakat harus cerdas menyerap informasi dan mengambil sikap. Mengingat pentingnya memilih calon pemimpin yang visoner saat ini adalah bagian penentuan nasib kabupaten sinjai selama lima tahun kedepan. Harapannya, semoga pemilihan kepala daerah di sinjai bisa berjalan sukses, damai dan berkeadilan.

Penulis : Mukhlis Hassan

You may also like