Respon Putusan MK Terkait PHPU Presiden 2024, ILS Gelar Silaturahmi dan Diskusi Rakyat

0 comments

Foto: ILC gelar silaturahmi dan diskusi rakyat.(Ah)

GOWA, BB — Berangkat dari dinamika politik-hukum di Indonesia belakangan ini, Independent Law Student (ILS) mengadakan kegiatan bertajuk Silaturahmi dan Diskusi Rakyat di Partdua Coffe pukul 19.00 Wita pada Rabu, (15/05/2024).

Dengan mengusung Tema “Merespon Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024” dengan menghadirkan Narasumber diskusi yakni, Dr. Fadli Andi Natsif, S.H., M.H., Rahmat Hidayat, S.H., M.H., dan Ian Hidayat, S.H.

Sudah hampir sebulan pasca MK menolak permohonan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 Anies-Muhaimin dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024. MK juga menolak gugatan yang diajukan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 3 Ganjar-Mahfud.

Pergulatan pemikiran pasca dibacakannya putusan tersebut terjadi dimana-mana, diskursus seakan tidak pernah berhenti. Tak ayal, bagaimana 9 (orang) Majelis Hakim MK yang memiliki beban sebagai the guardian of the constitution untuk menjaga terselenggaranya pemilihan umum (PEMILU) yang berintegritas dalam artian langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 22E ayat 1 UUD 1945.

Sebagai pengantar diskusi, Fadli Andi Natsir selaku akademisi hukum menyinggung Putusan MK terdahulu, yakni Putusan MK Nomor 90.

“Putusan MK Nomor 90 (Kekuasaan Yudikatif) merupakan karpet merah buat Gibran Rakabuming Raka. Putusan MK tersebut seharusnya bersifat ius constituendum bukan ius contitutum. Hampir semua pakar hukum juga mengatakan bahwa Putusan tersebut adalah cacat yuridis”. Ungkap, Fadli Andi Natsif yang juga merupakan Dewan Pembina ILS.

Lebih lanjut, dalam tulisan Fadli Andi Natsif yang sebelumnya telah terbit pada majalah Tribun, bahwa tindakan cawe-cawe Presiden Jokowi (Kekuasaan Eksekutif) sangat mempengaruhi hasil PEMILU. Salah satunya ialah bagi-bagi bantuan sosial menjelang PEMILU, sebagaimana yg disampaikan juga oleh pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Muchtar dalam film dokumenter Dirty Vote. Sedangkan untuk Putusan MK terkait PHPU 2024 ini, sebenarnya yang bermasalah ialah Wakil Presiden, konstruksi saya ialah Gibran di-diskualifikasi, bukan di-diskualifikasi paket (Presiden dan Wakil Presiden). Namun, MK tidak berani mengambil keputusan yang mengarah kesana. Dengan ini saya kira demokrasi kita tidak baik-baik saja.

Sementara itu, narasumber Rahmat Hidayat selaku praktisi hukum menyatakan bahwa MK baru berdiri sekitar tahun 2004, tercatat kurang lebih ada 5 kasus PHPU yang ditangani, dan semua kasus itu ditolak hakim MK.

“Belajar dari preseden tersebut, orang yang mengajukan gugatan atas perkara PHPU, bisa diprediksi bahwa gugatan itu akan ditolak. Tapi disatu sisi, merupakan pembelajaran bagi kehidupan berdemokrasi kita dalam bernegara. Terkait dissenting opinion Hakim MK, kita bisa melihat bahwa putusan MK kita berkembang, dulunya ditolak seluruh hakim, kini ada tanggapan yang berbeda dari 3 (tiga) hakim MK pada perkara PHPU Presiden 2024 ini” ujar, Rahmat Hidayat yang juga merupakan alumni pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.

Diskusi yang mengalir tersebut tidak sedikit melahirkan beberapa benturan pemikiran diantara para narasumber. Tentu ini mengingatkan kita semua akan pepatah lama, bahwa jika 2 (dua) sarjana hukum berdiskusi akan melahirkan 3 (tiga) pendapat yang berbeda, 3 (tiga) sarjana hukum berdiskusi akan melahirkan 4 (empat) pendapat yang berbeda. Itulah pentingnya berdiskusi serta terbuka akan pluralitas pemikiran.

Dilain sisi, narasumber Ian Hidayat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mengatakan bahwa sebenarnya saya agak skeptis terhadap PEMILU Presiden kali ini, dan ini juga menjadi narasi penegasan bahwa saya tidak berdiri dipihak PASLON manapun.

“Melihat kebelakang, kejanggalan sudah terjadi jauh hari ketika adanya sidang MK menjelang PEMILU, yang melahirkan Putusan MK No. 90. Kemudian, dari Koalisi Masyarakat Sipil sebenarnya menyoroti proses pelaksanaan PEMILU, bagi-bagi BANSOS, menggunakan kekuasaan negara dalam kepentingan PEMILU. Ini kan juga termasuk dalam beberapa petitum Tim Kuasa Hukum Anies-Muhaimin”. Pungkas, Ian sapaan akrabnya.

Dalam diskusi yang diadakan tersebut, turut hadir juga beberapa organisasi intra-ekstra kampus UINAM dan Koalisi Masyarakat Sipil. Lebih lanjut, Muhammad Ariskah selaku Ketua Umum ILS mewakili para Pengurus menghaturkan ucapan terimakasih sebesar-besarnya terhadap semua unsur yang telah berpartisipasi dalam kegiatan ini. Narasi tersebut juga menjadi pertanda berakhirnya kegiatan kita pada malam ini.

“MK lahir sebagai anak kandung reformasi, guna mencegah terulangnya pelanggaran konstitusi yang dilakukan pada zaman pemerintahan Orde Baru. Sebelum reformasi tidak ada MK. MK diharapkan dapat mengawal perjalanan bangsa, menegakkan supremasi hukum, demokrasi dan HAM. Akan tetapi MK secara bertahap mengalami kemunduran, lewat putusan-putusannya yang syarat akan intervensi politik. Jika setangkai bunga melambangkan kehidupan, kebenaran dan keadilan, maka MK lewat ketukan palunya telah mematahkan setangkai bunga tersebut. Tutup, Ariskah yang juga merupakan Mahasiswa aktif Hukum Tata Negara UINAM. (**)

You may also like