MAKASSAR, BB — Gejolak kepemimpinan di Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, hingga saat ini belum menemui titik terang.
Kemelut kepemimpinan salah satu kampus ternama di Sulsel itu pasca pemberhentian sementara Rektor UMI Prof Basri Modding dari jabatannya, oleh Yayasan Wakaf (YW) UMI. Padahal, Prof Basri baru menjabat satu tahun tiga bulan untuk periode keduanya tahun 2022-2026.
Sebelumya, Ia dilantik pada Senin, 27 Juni 2022 lalu. Sementara pemberhentiannya berlangsung, Selasa, 10 Oktober 2023. Untuk posisi Pelaksana Tugas (Plt) Rektor ditunjuk Prof Sufirman Rahman. Dia adalah Direktur Program Pascasarjana (PPs) UMI. Seremoni penyerahan SK berlangsung di Aula Fakultas Kedokteran Lantai II Kampus UMI. Pelantikan dilakukan oleh Prof Masrurah Mokhtar selaku ketua yayasan.
Prof Masrurah mengatakan, pelantikan Prof Sufirman dilakukan setelah dilakukan penonaktifan dan pemberhentian sementara Prof Basri Modding. ”Penonaktifan ini dilakukan karena kita mau audit internal secara menyeluruh, secara total, secara bebas,” ujar Prof Masrurah.
Menurut Prof Masrurah, ada beberapa yang menjadi alasan sehingga Rektor Prof Basri Modding dinonaktifkan. “Banyak hal. Tapi kami belum bisa mengungkapkan sekarang. Ada memang sudah terbukti tim pencari fakta. Kami dibantu oleh tim pencari fakta, karena mereka keliling,” ketusnya.
Bahkan kata Dia, hingga saat tim pencari fakta masih melakukan audit. Ada tujuh orang yang menjadi tim dari pihak yayasan untuk mencari fakta-fakta terkait beberapa permasalahan internal UMI.
Prof Basri Modding mengecam pergantian yang dilakukan itu tanpa sepengetahuannya. Ia mengaku tiba-tiba diberhentikan tanpa alasan. ”Saya tidak dikasih tahu. Tidak ada ada pemberitahuan dalam bentuk apapun. Pergantian tidak prosedural dan tidak sesuai dengan mekanisme statuta UMI, yaitu melalui rapat senat universitas,” ujarnya, kemarin.
Menurutnya, tindakan yang dilakukan pihak yayasan merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Dirinya bahkan tidak diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan. ”Saya tidak pernah dipanggil. Saya merasa dizalimi. Saya tidak diberi kesempatan. Saya terpilih (menjadi rektor) melalui rapat senat. Ada persetujuan guru besar, serta seluruh pimpinan fakultas dan lembaga,” tandasnya.
Dia pun mengklaim, saat ini terjadi dualisme kepemimpinan di rektorat Yayasan Wakaf UMI. Sebab banyak pihak yang masih mendukungnya. Prof Basri menegaskan, UMI adalah milik umat, bukan kepunyaan pribadi, sehingga harus dikelola secara transparan.
Untuk itu, Prof Basri berharap pemerintah turun tangan menyelesaikan konflik ini. Sebagai rektor yang terpilih secara sah, Prof Basri melalui senat universitas dan sesuai mekanisme statuta UMI sebagai landasan hukum tertinggi Yayasan Wakaf UMI, maka pihak rektor yang sah akan melaporkan pelantikan tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Termasuk menyurat ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Gubernur Sulsel serta Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah IX.
Menanggapi polemik tersebut, salah seorang alumni UMI Sulthani, turut berbicara. menurutnya, Kemelut kepemimpinan UMI idealnya tidak boleh terjadi, jika komitmen sebagai lembaga pendidikan dan dakwah. Sehingga sepatutnya civitas akademika UMI lebih mengedepankan kesabaran dan keteladanan dalam menyikapi kebijakan Yayasan Wakaf UMI berkenaan pemberhentian sementara Prof.Dr. Basri Modding selaku Rektor UMI dan kemudian mengangkat Prof.Dr.H. Sudirman selaku plt. Rektor UMI.
“Sejatinya semua pihak menghormati keputusan YW UMI sebab semata untuk memperlancar dan memudahkan proses audit internal secara independen atas dugaan masalah keuangan UMI,” katanya, dalam keterangan tertulisnya yang dikirim ke Redaksi Beritabersatu, rabu (11/10/2023)
Lebih lanjut dikatakan, jika Polemik ini seharusnya tidak perlu merugikan mahasiswa, karena mahasiswa telah membayar uang kuliah sehingga memiliki hak menuntut ilmu, dan tentu pihak kampus berkewajiban memberikan fasilitas belajar mengajar.
“Keputusan YW UMI mutlak dilaksanakan, dan kalau ada pihak yang menghalangi patut pula dituntut dugaan perbuatan melawan hukum yang merugikan mahasiswa dan civitas akademika,” Ujar, Sulthani yang berprofesi sebagai Advokat itu.
kendati demikian, Mantan Ketua DPRD Sinjai itu menilai jika Tidak ada yang salah terhadap keputusan YW UMI karena pergantian Rektor bukan dengan dasar pemilihan Rektor karena habis masa jabatan. Tetapi YW selaku pemilik UMI secara yuridis tentu memiliki kewenangan untuk menjaga dan menyelamatkan keberlangsungan operasional kegiatan akademik tanpa indikasi/dugaan penyalahgunaan keuangan UMI.
“Sebagai alumni UMI, tentu kita berharap jangan pertontonkan indikasi upaya mempertahankan kepentingan dengan kekuatan yang tidak Islami. Sepatutnya kita malu kalau berbuat salah atau keliru dalam tata kelola keuangan kampus, dan sebagai orang beriman sebaiknya yang salah meminta maaf dan mengakui kesalahan atau kekeliruannya. Intinya jangan rugikan mahasiswa dan UMI. Berbuat bijaklah dan mencerahkan yang bisa diteladani dengan menjaga eksistensi UMI sebagai lembaga pendidikan dan dakwah,” Pungkasnya. (**)