Surat Terbuka Penolakan Menyamakan Bissu dan LGBT

0 comments

Akhir-akhir ini, miris menyaksikan mulai bermunculannya penolakan terhadap acara Bissu, termasuk di Kabupaten Bone. Penolakan terjadi seringkali karena menyamakan Bissu sebagai LGBT.

Penolakan ini tak sekadar bersuara, tetapi seperti pasang badan agar acara terkait Bissu tak terlaksana. Seperti ada kepuasan tersendiri jika acara yang memunculkan Bissu batal.

Saya sebagai tenaga ahli cagar budaya merasa sudah cukup aksi penolakan dan peminggiran terhadap Bissu yang terjadi karena menyamakan LGBT tadi. Saya merasa perlu bersuara mengecam secara terbuka aksi-aksi penolakan terhadap eksistensi Bissu, khususnya tradisi tarian Sere Bissu ditunjukkan di publik.

Orang-orang yang menolak itu perlu memperluas wawasan mereka. Menyempatkan diri membaca literatur agar tak dungu.

Tarian Sere Bissu telah mendapatkan pengakuan sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2020 lalu melalui nomor registrasi 202001220.

Perlu dilihat kembali sebab LGBT berbeda konteks dengan keberadaan bissu. Bahkan, masyarakat Bugis sendiri sejak dahulu tidak memperdulikan apa itu gender.

Diantara penelitian tentang gender dan bissu, Sharyn Graham Davies (2018) juga menyebutkan, identitas gender dalam suku Bugis tidak sekadar dilihat dari bilogis, namun berhubungan dengan karakter, subjektivitas, spiritual, dan yang paling utama peran dan tugasnya dalam struktur sosial masyarakat Bugis.

Menurut penelitian Sharyn Graham Davies (2018), masyarakat Bugis mengenal bissu sebagai manusia setengah dewa yang tidak boleh memiliki hasrat seksual, tidak diperkenankan menikah, dan apapun yang berkaitan dengan kepentingan pribadi yang bersifat “duniawi”, bissu harus melepaskan diri.

Peran dan tanggung jawab utamanya adalah mengabdi kepada Dewata (Tuhan). Dengan kata lain kehadiran Bissu, bagi masyarakat Bugis sangatlah disakralkan.

Peranan bissu dalam masyarakat Bugis, pertama kali, kita dapat melacak keberadaannya melalui pengisahan dalam epos I Lagaligo yang mengungkapkan, salah satu manusia pertama yang turun ke bumi, yakni seorang bissu. Turunnya bissu ke bumi diceritakan sebagai awal mula terciptanya suatu peradaban.

“Tengah hari cuaca gelap gulita, taufan dan badai turun. Puang matoa dari Lae-Lae, I We Salareng dan We Apanglangi, kepala bissu dari Ware dan Luwu turun ke bawah dengan perlengkapannya, taufan dan badaipun reda.”(Kern, 1989: 34).

Kutipan di atas menjelaskan keberadaan bissu di dunia sebagai penghapus ‘bencana’ yang ditunjukkan melalui frasa taufan dan badaipun berlalu setelah turunnnya bissu. Masyarakat Bugis percaya bahwa manusia pertama yang turun ke bumi didampingi oleh bissu.

I We Salareng dan We Apanglangimerupakan bissu pertama yang kehadirannya menjadi pendamping Raja Luwu yakni Batara Guru yang merupakan putra sulung dari Maharaja Agung di Kayangan yang diturunkan dari langit ke Luwu.

Bissu sebagai pelengkap kesempurnaan para tokoh utama yang dianggap manusia istimewa seperti yang terungkap dalam I Lagaligo. Hal itu membuktikan pentingnya keberadaan bissu dalam kepercayaan leluhur masyarakat Bugis.

Secara umum peran dan tugas bissu melingkupi semua lini kehidupan manusia. Mulai dari sosial, ekonomi, budaya, dan spiritualitas yang terhubung dengan yang transenden, alam, dan manusia. Dengan kata lain, peranan bissumenjadi inti terwujudnya suatu kestabilan.

Hamonic (1987) dalam salah satu penelitiannya tentang bissu menyebutkan, masyarakat Bugis sangat menghormati bissu karena mereka memiliki pengetahuan tentang adat istiadat, tradisi, silsilah keluarga, kehidupan sosial di dunia nyata dan para dewata, menguasai pengobatan dan mistik.

Dengan dasar tersebut, saya menantang pemerintah dan aparat membuktikan isu yang dikeluarkan ke media dengan menyandingkan Bissu dengan LGBT.

Padahal sudah jelas Bissu diakui dan dilindungi oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 terkait Pemajuan Kebudayaan.

Saya menuntut agar ruang-ruang ekspresi terhadap Bissu bisa kembali dibuka dan tak ada upaya untuk kriminalisasi. Biarkan Bissu yang telah mendapatkan pengakuan secara hukum berekspresi sebagaimana yang lainnya tanpa ada tekanan. (**)

You may also like