Yusrang (Dosen Hak Asasi Manusia UNIASMAN)
Menurut rilis Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Pada 2019 lalu, terdapat 894 petugas garda terdepan pemilu yang meninggal dunia, serta 5.175 petugas yang jatuh sakit akibat beratnya beban kerja penyelenggaraan Pemilu. Hal tersebut harus mendorong kita untuk merefleksi bagaimana pemilu 2024 kedepan yang dimana mekanisme dan pelaksanaannya tidak berbeda jauh dengan pemilu 2019.
Kematian dan sakit tidak boleh hanya di ukur sebuah angka, tidak ada pemilu yang seharga nyawa dan sakit, apalagi peran warga negara tersebut dalam membantu negara melaksanakan pemilu harus diapresiasi dan dilindungi sebagaimana pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Saat ini ada upaya baru dalam perekrutan penyelenggara pemilu dengan menyaring calon penyelenggara yang memiliki penyakit bawaan, namun amat penulis hal ini kurang tepat karena persoalan Kesehatan itu bukan hanya factor internal bawaan tetapi juga factor eksternal. Untuk itu perlu adanya upaya untuk memberikan Jaminan social. BPJS Kesehatan yang menjadi salah satu syarat warga negara dalam pemenuhan kesehatannya masih terkendala factor adanya bentuk bentuk layanan Kesehatan tidak di jamin oleh BPJS Kesehatan, seperti kecelakaan dalam melaksanakan kerja misalnya dalam berkendara, tentu hal tersebut menjadi tanggungan pemberi kerja. Untuk itu satu-satunya alternatif yang disiapkan negara adalah BPJS Ketenagakerjaan.
Di tingkat nasional seperti KPU RI dan Bawaslu RI telah melakukan MoU dengan BPJS Ketenagakerjaan namun hal tersebut tidak ada tindak lanjut tingkat bawah. Banyak yang berdalih dengan anggapan kecilnya anggaran dalam pelaksanaan pemilu tingkat bawah sehingga iuran yang selalu menjadi pertimbangan pertama padahal keselamatan penyelenggara. Asuransi Kesehatan sudah menjadi keharusan pemberi kerja untuk keterlibatan negara dalam hal ini bila ada penyelenggara meninggal memberikan santunan ke ahli waris atau bila ada sakit tidak perlu mengocek upah dari penyelenggara itu sendiri.
Ada tiga alternatif yang bisa menjadi solusi penyelenggara pemilu ditingkat bawah untuk pembayaran iuran, pertama membebankan Pemerintah Daerah sebagaimana amanat Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dalam Inpres tersebut para Bupati / Walikota untuk mengambil langkah-langkah agar seluruh pekerja baik penerima upah maupun bukan penerima upah termasuk pegawai pemerintah dengan status Non ASN, dan Penyelenggara pemilu di wilayahnya merupakan peserta aktif dalam program Jaminan Sosial Ketenegakerjaan. Kebijakan tersebut bisa menjadi acuan bahwa penyelenggara pemilu mendapatkan perhatian khusus bagi pemerintah setempat. Kedua, membebankan Ke Kesekretariatan Penyelenggara masing-masing. Dalam hal ini Pemerintah setempat tidak ingin melaksanakan Inpres poin pertama tadi dengan dalih bahwa Pemerintah setempat telah mengalokasikan anggaran khusus kepada Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU atau Bawaslu Kabupaten/kota dan menyerahkan sepenuhnya persoalan pemilu ke Penyelenggara. Hal tersebut bisa menjadi kebijakan komisioner-komisioner kabupaten/kota untuk membahas jaminan social ketenegakerjaan penyelenggara Ad Hoc dibawahnya dalam mekanisme Pleno atau membuat aturan berdasar Kerjasama KPU RI atau Bawaslu RI dengan BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga, membebankan ke penyelenggara Ad Hoc. Hal ini memang tidak etis tetapi jika harus dipahami poin pertama dan poin kedua tidak dapat mengakomodir jaminan sosialnya, inisiatif Penyelenggara Ad Hoc bisa menjadi soslusi.
Dilihat dari situs resmi BPJS Ketenagakerjaan, besaran hitungan iuran yang tidak cukup Rp.20.000, per peserta tentu tidak memberatkan apalagi jika ini menyangkut keselamatan kerja dan jaminan kematian penyelenggara ad hoc yang hanya sementara waktu. Jika masa kerja selesai, BPJS Ketenagakerjaan bisa di hentikan. Besaran iuran ini memang relatih dari sudut pandang mahal atau murahnya tetapi sebagai jaminan keselamatan, hanya ini mekanisme yang negara siapkan untuk saat ini.
Bagaiman di tingkat KPPS dan PTPS yang masa kerjanya relative singkat?
Dalam Lembaga penyelenggara pemilu Ad Hoc tingkat Kecamatan, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panwaslu adalah Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan serta dalam tingkat desa ada Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panwaslu Kelurahan/Desa (PKD) memiliki masa kerja melebihi 3 bulan berturut-turut sehingga memenuhi syarat dalam BPJS Ketenagakerjaan. Namun berbeda dengan tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) yang masa kerjanya hanya hitungan hari.
BPJS ketenagakerjaan sebagaimana regulasi tetap menerima pendaftaran meskipun komitmen kerja hanya terhitung satu bulan sebagaimana pekerja Borongan ataupun konstruksi, jadi sudah sepantasnya menaruh perhatian dalam melindungi jaminan sosial para penyelenggara Ad Hoc.