Tulisan: Yusrang, SH.,MH. (Dosen Hak Asasi Manusia Uniasman)
Generasi Z adalah generasi yang lahir antara 1995 – 2010, banyak yang menyebut pula sebagai generasi Stroberi namun hal itu mengarah ke diksi yang negative mengangap generasi yang rapuh.
Mereka merupakan generasi yang tumbuh dewasa dalam era digital yang berkembang pesat, di mana teknologi dan internet memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari mereka, Sebagian besar bahkan diasuh oleh social media dan terhubung secara online sejak dini.
Dalam pemilu, generasi Z akan menjadi dua elemen penting dalam demokrasi, pertama adalah generasi yang telah dapat menggunakan hak pilihnya atau dalam hal sebagai pemilih potensial yang telah cukup umur 17 tahun atau telah dapat memilih sebagai mana aturan pemilu. Yang kedua adalah “anak”, generasi yang belum cukup 17 tahun atau belum memenuhi persyaratan dalam menggunakan hak pilihnya.
Elemen pertama ini ada yang telah melalui proses pemilu dan ada juga yang baru menjadi pemilih potensial, yang akan menjadi tahun politik pertamanya. Keterlibatan mereka sangat berpengaruh, menurut data statistic yang dikeluarkan hampir separuh penduduk kota Bone adalah generasi Z (Sumber : Bone dalam Angka 2023). Hal ini harus menjadi focus yang besar, disamping sebagai bonus demografi, juga menjadi generasi penentu kearah mana Bone kedepan.
Generasi Z yang memilih tentunya membutuhkan pengawasan dengan metode yang berbeda pula, menggunakan metode generasi diatasnya bukannya tidak berpengaruh namun hal tersebut tidak berdampak banyak. Sebut saja bagaimana generasi ini menggunakan social media dalam Interaksi.
Algoritma Demokrasi
Generasi Z, melihat demokrasi melalui Gadget. Banyak diantara mereka sudah meninggalkan stasiun TV sebagai media mainstream. Beralih ke social media sebagai sumber informasi mereka karena kemudahan dalam mengakses dan juga generasi z tidak bisa lepas dari gadget. Kemudahan inilah yang harusnya membawa mereka ke zaman keterbukaan informasi dan komunikasi ternyata mengarahkannya di zaman disinformasi dan miskomunikasi. Penyebaran berita bohong (hoax), isu SARA, konten kekerasan yang dan pembodohan membuat mereka bias dalam algoritma. Hal ini tidak bisa dihindari karena memang algoritma ini dibuat oleh pragmatism, sehingga demokrasi kita akan berisikan orang orang pragmatis. Hal ini didukung oleh algoritma social media yang tentu akan mengarahkan focus penggunanya sesuai dengan pembuat platfom tersebut yang membuat mengejar kata “Viral” untuk menaikkan popularitas.
Beberapa platfrom social media seperti Facebook, Instagram dan Tiktok menjadi medium bagi generasi z untuk menyuplai informasi. Namun informasi yang mereka temui saat berinteraksi di media social hanya bermodalkan viral dan yang mendapati ribuan atau jutaan atensi dihitung berdasarkan ‘like’ bukan soal akurasi informasi. Sehingga media social media yang diharapkan memberikan pencerahan bagi demokrasi kita sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berita palsu yang dikonsumsi oleh generasi z sering membuat sosial media penuh dengan perdebatan yang bisa memecah belah, membawa demokrasi kita tidak sehat. Tom Nichols dalam “Matinya Kepakaran” menyebut kemajuan teknologi bukan hanya menciptakan lompatan pengetahuan tapi menjadi sarana untuk menyerang pengetahuan yang mapan. Karena di ruang interaksi di social media begitu memudahkan penyebaran informasi palsu oleh berbagai kelompok yang penyebaran begitu mudah apalagi bagi mereka yang memhami algortima social media saat ini. Akurasi informasi tidak menjadi sesuatu yang dipinggirkan, pembenaran berdasarkan jumlah like dan dislike
Hal ini memunculkan sinisme tentang demokrasi dihadapan sosial media di mana penggunanya di dominasi oleh generasi Z. Majalah “The Econimist” dalam edisi November 2017 misalnya, dalam artikelnya berjudul Social media’s threat to democrazy tak ragu-ragu menyebut sosial media menjadi ancaman demokrasi hari ini. Digitalisasi menciptakan segregasi, inilah yang disebut dengan kedikatatoran digital. Ditambah peran buzzer dengan mudah mengubah opini public, karena rujukann berdasarkan tagar dan topic trendings yang muncul di beranda kita.
Melihat pemilu 2024 di mana tentu peran mereka amat krusial untuk membuat kondisi demokrasi yang banyak kalangan menilai dalam kondisi sakit. Dengan mendorong mereka untuk aktif. Generasi Z mestinya tidak dijadikan hanya sebagai objek dalam pemilu, tetapi subjek yang dapat membawa perubahan. Tentunya menjadi tugas bersama untuk membuat konten yang informatif yang mengandalkan akurasi. Belum lagi ancaman yang belum bisa membedakan ujaran kebencian dan kebebasan berbicara di social media.
Peran pengawasan pemilu menjadi tidak mudah dalam generasi z ini, mereka harus ikut menyentuh dan membuka mata akan tekhnologi, terlebih lagi para pelaku politik dan peserta pemilu memandang tim media sosialnya sangat penting untuk mengendorse tokohnya. Maka dari itu, pengawas pemilu harus mengikuti algoritma social media untuk mendapatkan atensi, bukan membuat arus tersendiri yang membuat jauh dari akses public social media atau dalam hal ini melawan algoritmanya. Jika memang misalnya di tiktok harus berjoget, pengawas pun harus melakukan itu untuk menyebarkan konten edukasi politik, supaya isi konten pragmatis ini menghadirkan nuangsa baru yang edukatif. Memang pada dasarnya akan dinilai cringe oleh generasi Z, namun inilah salah satu cara untuk hadir di zamannya. Pengawas pemilu harus rela beradaptasi agar dipahami generasi Z.
Pengawasan Pemilu Ramah Anak
Elemen kedua yaitu anak, disamping isu media social yang dipahami secara cepat, juga keterlibatan anak dalam politik dapat menjadi isu yang kompleks. Beberapa negara mungkin mengizinkan anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan politik seperti berpartisipasi dalam pertemuan atau kampanye yang sesuai dengan usia mereka. Namun, mereka sering kali dilarang untuk melakukan kegiatan yang dapat membahayakan atau mengganggu kehidupan mereka, seperti berbicara di depan umum atau terlibat dalam kegiatan yang tidak pantas. Seperti Halnya di Indonesia.
Hal ini dilakukan untuk melindungi hak-hak anak, memastikan bahwa mereka tidak dimanfaatkan atau dieksploitasi untuk kepentingan politik, dan memberikan mereka kesempatan untuk fokus pada pendidikan dan perkembangan mereka tanpa tekanan politik yang berlebihan.
Penting untuk mencermati prinsip-prinsip hak anak yang diatur dalam Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCRC). UNCRC mengakui hak anak untuk berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi mereka, tetapi juga menghormati hak mereka untuk melindungi dan menghormati kebutuhan khusus mereka sebagai anak-anak.
Secara umum, penting bagi masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara melibatkan anak dalam politik dan melindungi hak-hak serta kepentingan terbaik mereka. Regulasi yang jelas dan ketentuan yang memadai perlu diterapkan untuk memastikan perlindungan anak dan menghindari penyalahgunaan potensi mereka dalam kampanye politik.
Dalam Pasal 280 ayat 2 (k) UU Pemilu, dijelaskan bahwa “pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan Warga Negara Indonesia (“WNI”) yang tidak memiliki hak memilih”. Artinya ketentuan tersebut, secara implisit melarang anak ikut serta dalam kampanye pemilu jika belum berumur 17 tahun,
Pasal 493 UU Pemilu yang mengatur bahwa “Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Itu artinya, mengikutsertakan anak dalam kampanye pemilu dapat dipidana paling lama satu tahun dan denda paling banyak 12 juta.
Memang saat ini Bawaslu dan KPAI telah menandatangani MoU untuk pemilu ramah anak tetapi hal ini belum diimplementasikan karena dalam sejarah kepemilu-an di Indonesia kerap mengabaikann perlindungan anak. Hal ini dikarenakan para kontestasi berasumsi isu perlindungan anak kurang menarik, membuat isu ini terpinggirkan. Berkaca pada data KPAI begitu banyak pelanggaran pelibatan anak dalam kegiatan politik. Mekanisme penanganan pelanggaran pidana pun disiapkan sangat complex. Temuan bawaslu direkomendasikan ke Gakkumdu, sedangkan penanganan pidana anak membutuhkan penyidik sertifikasi ramah anak. Begitu pulan sebaiknya kampanye di social media tetap memperhatikan konten agar ramah terhadap anak.