Yang Mulia Elite Dalam Wabah Covid-19

0 comments

Oleh: Nadia Widyansari

Apa yang terlintas di pikiran anda jika mendengar kata elite? Apakah benda benda mewah? Atau orang yang memiliki kewenangan serta para pejabat? Yah kata elite memang identik dengan itu semua. Elite adalah sekelompok kecil orang orang berkuasa, misalnya oligarki, yang menguasai kekayaan atau kekuasaan politik dalam masyarakat. Kelompok ini memiliki posisi yang lebih tinggi daripada rakyat jelata dan hak yang lebih besar daripada kelas masyarakat di bawahnya. Contohnya adalah para pejabat, pengusaha, dan orang orang yang memiliki andil besar terhadap negara.

Kaum ini merupakan kaum minoritas tetapi begitu berpengaruh dan memiliki kewenangan dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan kewenangan (mengikuti definisi Weber) adalah hak yang sah (legitimated) untuk memberi perintah pada orang lain. Perbedaann antara kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) menurut Weber adalah bahwa sumber pengaruh pada kewenangan bukan orang yang menduduki jabatan atau posisi itu, melainkan dari jabatan itu sendiri. Sedangkan sumber pengaruh kekuasaan adalah orang yang mempunyai kekuasaan tersebut. Adanya dominasi dari kelas yang mempunyai kewenangan itu berasal dari hak untuk memberi perintah .

Sehubungan dengan itu, sebenarnya ada  3 model distribusi kekuasaan yang biasanya digunakan oleh para ilmuwan politik, yaitu : model elitis, model pluralis, dan model populis. Pertama, model elitis berasumsi bahwa kekuasaan selalu terkonsentrasi pada tangan minoritas kecil yang disebut elit, model inilah yang di gunakan di indonesia.

Kedua, model pluralis yang acap kali juga disebut sebagai terori kelompok kepentingan berasumsi bahwa kekuasaan terdistribusi secara luas dan merata keseluruhan masyarakat yang cenderung terpusat pada kelompok-kelompok kepentingan.

Ketiga, model populis berasumsi bahwa kekuasaan didistribusikan kepada seluruh individu warga negara atau kepada seluruh rakyat secara keseluruhan (secara kolektif).

Dari ketiga model tersebut mode elite lah yang di gunakan negara kita saat ini, pengambilan keputusan, dasar pelaksanaan kegiatan dan semua hal yang berkaitan dengan negara kini di atur sedemikian rupa oleh para elite.

Seperti yang kita ketahui saat ini,dunia  sedang di guncangkan oleh sebuh virus yang merambah hampir ke semua negara, yaitu Covid 19. Wabah covid merupakan sebuah wabah yang lahir dari negeri Tirai Bambu (Cina) sejak 2019 lalu dan kemudian melakukan penjelajahan dan berkelana hampir ke seluruh dunia. Proses penjelajahannya tidak main main, wabah ini bahkan memborong banyak manusia. Saat penjelajahannya, merenggut nyawa, merubah sistem, merampas kedamaian, mengambrukkan perekonomian dan bahkan merusak psikologis. Begitu hebat pengaruh penjelajahan yang dilakukan oleh covid 19 ini.

Sasarannya pun di pilih acak dan tak memandang jenis kelamin, usia bahkan jabatan sekalipun. Ada ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu manusia setiap harinya yang di nyatakan terinfeksi covid 19, terutama bagi mereka yang memiliki imun tubuh yang rendah.

Di indonesia sendiri, wabah ini mulai bertamasya sejak Februari 2020 dan menyebar hampir ke seluruh pelosok negeri dan sampai saat ini tak kunjung berpulang ke negeri asalnya. Dampaknya pun begitu besar, mulai dari menambah aturan di dalam negeri, merubah keadaan ekonomi menjadi lebih terpuruk, dan gangguan mental bagi orang orang yang terlalu lama berdiam diri dan begitu cemas dengan keadaan saat ini. Hal yang begitu berpengaruh adalah perubahan keadaan ekonomi yang di rasakan oleh masyarakat baik skala nasional maupun keadaan ekonomi masyarakat kecil. Dapat kita saksikan sendiri, keterpurukan sektor perhotelan, penerbangan dan PHK secara besar besaran yang di lakukan oleh berbagai perusahaan yang semula baik baik saja sebelum adanya wabah.

Menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan hotel dan restoran merupakan sektor yang terkena sangat langsung dan pertamakali saat pandemi ini, tidak tanggung tanggung sektor ini mengalami 50 persen penurunan okupansi. Bagaimana dengan penerbangan? Banyak bandara yang di tutup yang mengakibatkan angka turis menurun. Hal ini di lakukan untuk melakukan pembatasan berskala besar untuk mencegah penularan virus tersebut. Sementara jumlah pekerja yang di rumahkan sampai bulan april mencapai 1,24 juta pekerja dari sektor formal dan di sektor informal mencapai sekitar 265 ribu pekerja informal dan masih akan di perbaharui lagi.

Selain itu, impor indonesia turun 3,7 persen. Tidak hanya itu, mata uang indonesia yaitu Rupiah menurun drastis menjadi 15.173,00 yang sebelumnya adalah 13. 657,00. , kondisi ini hampir mirip dengan krisis ekonomi pada tahun 1998. Dan yang paling menyita perhatian saya yaitu kondisi ekonomi masyaralkat kecil yang pada keadaan biasa saja sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, bagaimana kondisi mereka saat ini? Tidak ada stok bahan makanan yang bisa mereka makan, tidak ada uang simpanan yang dapat di belanjakan pada saat mereka tidak bekerja.

Nah, kewenangan para elit pada saat pandemi covid ini kini mulai merajalela dan di salahgunakan. Mereka sepertinya tidak begitu peduli dengan kondisi pandemi saat ini, mereka hanya mementingkan kepentingan orang yang mempunyai andil besar terhadap pendapatan negara.mengapa saya mengatakan demikian? Yah dapat kita saksikan sendiri bahwa ada begitu banyak larangan yang di buat oleh pemerintah, mulai dari pemberhentian sekolah dan universitas sementara dan melakukan perkuliahan secara daring (online),melarang  beribadah di mesjid dan rumah ibadah lainnya, melarang perkumpulan dan banyak aktifitas lain yang di larang jika itu melibatkan banyak orang.

Namun begitu mencengangkannya akhir akhir ini mengapa mall di biarkan terbuka, bandara dibuka kembali sedangkan keadaan belum pulih.  Bukankah itu merupakan suatu kejanggalan yang terjadi. Saya dan bahkan kalianpun merasa heran mengapa pemerintah membiarkan mall terbuka, media media online sibuk membicarakan kejadian ini. Ada begitu banyak berita bermunculan karna peristiwa ini. Asumsi masyarakat membutuhkan baju baru, asumsi agar perekonomian tetap berjalan, asumsi tidak ada larangan dalam undang undang dan bahkan ada asumsi yang menjelaskan bahwa sebenarnya sholatpun tidak di larang namun MUI sendiri yang melarang di laksanakannya sholat tarwih bukan pemerintah.

Ada masyarakat yang heran, tetapi ada pula masyarakat yang setuju. Mereka yang setuju adalah mereka yang kurang memperhatikan kerugian yang lebih besar atau dampak negatif yang lebih besar yang akan timbul lainnya jika masyarakat tetap kekeh tak ingin #di rumah aja. Pada pembahasan ini, saya tidak terlalu terfokus pada masyarakat yang bandel terhadap aturan namun lebih menekankan dan menyayangkan sikap pemerintah dalam menghadapi pandemi. Yah begitulah mereka “yang mulia elite” mengatur semuanya sedemikian rupa, tindakan mereka memiliki banyak alasan dan pembenaran yang jika di kaji lebih dalam sebenarnya tidak adil untuk masyarakat lainnya.

Jika di lihat dari perspektif sosiologi, terdapat teori  strukturasi (Anthony Giddens) yang membahas mengenai sikap dan perilaku elit politik. Teori ini menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaku dan struktur, dimana para pelaku yang di maksud adalah “yang mulia elite” dan perilakunya yang bertindak atas dasar struktur dan kepentingannya. Dimana hubungan antara keduanya berupa relasi dualitas. Dalam hubungan dualitas, bukan dualisme, termaktub pengertian bahwa antara pelaku dan struktur tidak terpisahkan; di antara keduanya terjadi hubungan saling mempengaruhi. Hubungan antara pelaku dengan struktur dapat dipahami melalui praktik sosial; di mana praktik sosial itu sendiri merupakan kejadian atau kebiasaan sehari-hari hasil interaksi antara struktur dengan pelaku. Hubungan tersebut dipengaruhi kesadaran praktis (practical consciousnes) dan kesadaran diskursif (discursive consiousness) dari pelaku Melalui kesadaran praktis pelaku, struktur dapat memenjarakan atau membatasi pelaku dengan cara memaksa untuk melakukan rutinisasi tindakan (sebagai kebiasaan sehari-hari).

Sebaliknya dengan kesadaran diskursif yang dimilikinya, pelaku berupaya merubah struktur melalui praktik sosial baru dengan melakukan de-rutinisasi tindakan. Giddens yang menyatakan bahwa struktur merupakan aturan (rules) dan sumber daya (resources) dapat terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial dipahami sebagai faktor yang tidak hanya bersifat membatasi atau mengekang tetapi juga bersifat memberdayakan pelaku. Namun pada sisi lain, pelaku yang merupakan aktor dapat pula mempengaruhi struktur, dalam arti tidak harus selalu tunduk kepada struktur.

You may also like