Malang, BB — Belakangan ini masyarakat sangat antusias menanggapi pernyataan menteri agama tentang penggunaan cadar dan celana cingkrang. Menteri Agama Fachrul Razi telah menyampaikan rencana pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah.
Penggunaan cadar dan celana cingkrang merupakan hak privasi seseorang. Bila seorang warga negara meyakini bahwa cadar itu adalah bagian dari ajaran agama, maka negara harus melindungi warga negara itu tanpa terkecuali.
Adanya rencana kebijakan tersebut jangan sampai melanggar pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2 yang menjamin kebebasan beragama. Memaksakan sesuatu yang tidak disenangi seseorang dikhawatirkan akan memicu perlawanan dan kemarahan oleh golongan umat muslim yang meyakini pemakaian cadar dan celana cingkrang bagian dari sunah.
Rencana pelarangan cadar dan celana cingkrang yang dilontarkan oleh Menteri Agama Fachrul Razi seakan-akan menghilangkan kebijaksanaan pemerintah dalam menyikapi masalah khilafiah dalam bermuamalah di kalangan umat muslim. Dengan adanya rencana tersebut, Menag justru berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintah menjunjung tinggi semboyang Bhinneka Tunggal Ika sebagai bentuk perlawanan atas segala bentuk diskriminasi “SARA” (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Karenanya, jika pemerintah melakukan deskriminasi terhadap golongan masyarakat yang menggunakan cadar dan celana cingkrang, sama saja pemerintah memudarkan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang telah menyatukan bangsa ini.
Alasan di balik timbulnya rencana tersebut karena masalah keamanan yakni sulitnya mengenali identitas seseorang yang bercadar dan masalah kedisiplinan yakni kerapian jika menggunakan celana cingkrang. Akan tetapi, masih banyak cara untuk mengenali identitas seseorang dengan penggunaan name tag, fingerprint dan pemanfaatan kemajuan teknologi lainnya.
Selain itu, seseorang dapat dikenali dari ciri khas suaranya. Oleh sebab itu, rencana pelarangan cadar dan celana cingkrang perlu ditinjau kembali agar tidak menimbulkan perpecahan sehingga pemerintah perlu hati-hati dan penuh pertimbangan. Alasan pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang pada ASN mestinya berdasarkan atas dampak yang ditimbulkan pada kinerja ASN itu sendiri, bukan pada persoalan kerapian dan keamanannya.
Meskipun polemik ini terjadi dalam lingkup kerja ASN, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai sektor akan terdampak secara tidak langsung. Misalnya saja, pada sektor ekonomi akan menimbulkan ketimpangan atau kerenggangan hubungan kerja sama antarpelaku ekonomi yang pro dengan yang kontra, pada sektor pendidikan akan menekan kebebasan para guru maupun siswa dalam mengajar maupun belajar, dan begitu pula pada sektor kehidupan lainnya.
Persoalan mengenai cadar dan celana cingrang adalah persoalan khilafiah, masing-masing pihak tidak boleh menyalahkan dan memaksakan pendapatnya kepada pihak lain yang berbeda pendapat. Pihak yang sepakat dengan pengguna cadar dan celana cingkrang hendaknya tidak merasa pendapatnya paling benar dan menyalahkan pihak yang tidak sepakat dengan pengguna cadar dan celana cingkrang. Demikian pula sebaliknya, pihak yang tidak sepakat dengan pengguna cadar dan celana cingkrang juga tidak boleh mendeskriminasi golongan umat muslim yang menggunakan cadar dan celana cingkrang. Masing-masing pihak juga tidak boleh menggunakan kebijakan dan kekuasaannya untuk menghalangi pihak lain menjalankan agamanya sesuai yang diyakininya karena UUD 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama sesuai keyakinannya. Artinya, pilihan untuk menggunakan atau tidak menggunakan cadar dan celana cingkrang merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi NKRI.
Meskipun pemerintah telah menghimbau agar masyarakat berhenti membahas masalah penggunaan cadar dan celana cingkrang terlalu jauh, justru sebaliknya polemik seperti ini harus dituntaskan dan dikomunikasikan dengan masyarakat. Mengingat hal ini sangat sensitif sehingga pemerintah perlu menyatakan sikap yang tegas agar tidak terulang di kemudian hari. Selain itu, dengan menuntaskan polemik ini akan mengobati masyarakat yang merasa terzalimi akibat stigmatisasi yang dilekatkan pada golongan bercadar dan bercelana cingkrang sehingga narasi tentang deskriminasi terhadap golongan tertentu oleh pemerintah dapat terbantahkan.(*)
Penulis : Nurfatihah Dahlan
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang