Karena persolan tersebut yang ditegakkan tidak peduli apakah fisiknya lebih lemah dari lawannya, atau dia kalah segala galanya dari lawannya. Sekalipun yang akan ia lakukan akan mengorbankan jiwanya.
“Itu menurut manusia Bugis/Makassar mati karena siri’ adalah syahid, mati dengan kehormatan, sehingga muncul ungkapan mati karena siri’ adalah Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Itulah Kesatria sejati,” papar SAdAP.
Dia menyebutkan bahwa dalam berbagai literatur biasanya ditemukan referensi tentang siri’. Ada dikatakan dalam nada bahasa Bugis/ Makassar siri’ji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’naolo-oloka.
“Jadi artinya. Hanya karena rasa malu kita bisa hidup di dunia ini, jika rasa malu itu sudah hilang maka lebih baik mati. Karena hidup tak berarti lagi. Bahkan di ibaratkan binatang lebih berharga dibanding diri kita. Falsafah inilah dipegang teguh oleh masyarakat di Sulawesi selatan,” beber dia.
Falsafah ini kata SAdAP selalu diyakini dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan terbentuk menjadi budaya Siri’ Na Pacce. Siri’berarti rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti pedih atau pedas (keras, kokoh pendirian).
“Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan orang lain. Nilai ini dipandang sebagai sebuah konsep yang memberi dampak terhadap perilaku masyarakat yang menganutnya. Dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’, (3) Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’), dan (4) Siri’ Mate Siri’. Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri’tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce,” ungkapnya.
Halaman Selanjutnya…