Oleh: Muhlis Pasakai (Kepala SMK Muhammadiyah Sinjai)
OPINI, BB — Ada sebuah semboyan yang sangat familier sejak di bangku sekolah yang berbunyi “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Peribahasa semacam ini diharapkan beresonansi untuk memberikan sugesti tentang pentingnya menjaga persatuan dan semangat gotong royong, sekaligus untuk mengimunisasi generasi sejak kecil dari virus-virus separasi.
Suatu saat Arumpone bertanya kepada Kajao, “Apakah yang paling kuat? Adakah yang mengalahkan kekuatan senjata?” Kajao mengatakan bahwa terlalu lemah kekuatan senjata itu. Lalu Arumpone bertanya lagi, “Kalau begitu, apa yang kau anggap kuat?” Kajao lalu menjawab, “De gaga cauwi assedingengnge,” artinya tidak ada yang mengalahkan persatuan (Mattalitti, 1986). Kutipan ini disebutkan dalam buku Pappaseng To Riolota, namun tidak disebutkan Arung (raja) dan Kajao (staf ahli kerajaan) siapa yang dimaksud. Akan tetapi, masyhur diketahui ada seorang Kajao yang tersohor di masa Raja Bone Latenri Rawe Bongkange yang dikenal dengan nama Kajao Lalliddong atau La Mellong yang dikenal sebagai diplomat ulung dari tanah Bugis, ada yang menyebutnya sezaman dengan filsuf politik Italia, Nicolo Machiaveli. Ada kemungkinan Kajao inilah yang dimaksud, Allahu A’lam, namun yang pasti kita dapat menjadikan ini sebagai sebuah kearifan lokal tanah Bugis tentang pentingnya menjaga persatuan dan semangat gotong royong.
Potensi rivalitas yang tajam dan panas di berbagai aspek kehidupan modern yang biasanya memuncak di tahun-tahun politik terasa penting untuk didinginkan agar tidak menyemai anarkisme dan perilaku masyarakat yang tak berkeadaban.
Pada tanggal 3 maret 2019 saya menghadiri undangan pelantikan pengurus Pemuda Muhammadiyah Kab. Sinjai dengan tema “Meneguhkan Kebersamaan untuk Kemajuan Sinjai”. Saya berharap tema ini tidak hanya berhenti pada dinding organisasi Pemuda Muhammadiyah, tetapi juga sebagai pesan terbuka kepada semua orang untuk menjalin kebersamaan demi kedamaian dan keberlangsungan hidup di Wanua Panrita Kitta.
Dalam interaksi sosial yang dijalin oleh manusia, semakin intens dan semakin banyak orang, maka semakin berpotensi munculnya banyak pendapat. Gagasan dan ide yang berbeda terkadang meruncing pada perdebatan-perdebatan sengit, bahkan pandangan-pandangan yang berbeda tak ayal memicu konflik dan gesekan-gesekan yang serius.
Adalah hal yang tak dapat dihindari, dalam komunitas, kelompok, atau masyarakat, perselisihan-perselisihan itu adalah sebuah konsekuensi dari dinamika orang banyak. Karena itu jika terjadi perselisihan, maka untuk menjaga agar konflik tidak bertambah parah, adalah dengan mendamaikan mereka yang berselisih, itulah yang diperintahkan dalam al-Qur’an, “Damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (QS.al-Hujurat:10).
Perselisihan yang tak cepat didamaikan dapat menyimpan benih dendam yang membuat konflik semakin berlarut-larut, padahal “Tidak halal bagi seseorang memboikot saudaranya lebih dari tiga hari” (HR.al-Bukhari dan Muslim). Perdamaian, maaf-memaafkan memang bukanlah perkara mudah, apalagi ketika menyangkut hal-hal yang membuat sakit hati, orang tua mengatakan “Sau lo bessi tessau lo ati,” Artinya luka karena senjata tajam lebih mudah sembuh dibandingkan luka hati.
Orang yang terlibat konflik akan selalu saling memandang sinis diantara mereka. Oleh karena itu, ketika seseorang terlibat konflik dengan kita, salah satu upaya untuk membuka dan melapangkan hati untuk berdamai dengannya adalah dengan mengingat-ingat kebaikannya. “Janganlah kamu melupakan keutamaan (kebaikan) diantara kamu” (QS.al-Baqarah: 237), meskipun ayat ini bercerita tentang perceraian, namun potongan ayat ini dapat mengajarkan cara untuk berdamai, yaitu tidak melupakan kebaikan yang pernah dilakukan orang kepada kita. Meskipun kita sedang terlibat perselisihan, tapi mungkin orang tersebut pernah melakukan kebaikan kepada kita, itulah yang kita ingat-ingat. Selama kita terus mengingat-ingat kesalahan yang pernah dilakukan kepada kita, sampai kapan pun kita akan sulit untuk berdamai dengannya.
Salah satu perilaku yang sangat positif untuk menjaga kebersamaan adalah menjaga aib atau keburukan-keburukan orang yang tak perlu menjadi konsumsi publik. “Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat” (HR.Muslim). Sebagai manusia biasa, tak ada diantara kita yang bebas sepenuhnya dari cacat dan cela. Oleh karena itu, selama tak ada kepentingan yang lebih besar, pada dasarnya kita dilarang untuk mencari-cari tau kesalahan-kesalahan orang, “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang lain” (QS.al-Hujurat:12), larangan serupa juga disebutkan dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari. Sehebat apapun seseorang, secerdas apapun seseorang, jika kita serius untuk mencari-cari kesalahannya, maka kita akan mendapatkannya, karena sebagai manusia biasa pasti memiliki “catatan hitam” dalam perjalanan hidupnya, sekecil apapun itu.
Banyak berprasangka adalah hal yang destruktif dalam bangunan kebersamaan. Selalu mengira-ngira orang lain adalah hal yang tidak sehat. “Jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa” (QS.al-Hujurat:12). Menganggap orang yang melakukan kebaikan karena “ada udang dibalik batu” adalah contoh prasangka yang tidak baik itu. Hidup yang dipenuhi kecurigaan memiliki potensi dusta/ salah menilai orang lain, karena urusan niat (motif) orang melakukan sesuatu hanya dia dan Tuhan sendiri yang tau. Makanya Rasulullah perintahkan untuk menjauhi prasangka buruk ini, “Jauhilah prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Memandang enteng atau meremehkan orang lain adalah sebuah benalu yang bersarang di pohon kebersamaan. Dalam kehidupan yang plural, komunitas atau orang-orang tergabung dari berbagai latar belakang dan kompetensi yang berbeda, baik tingkat pendidikan, ekonomi, maupun keturunan. Tidak pantas seseorang atau komunitas tertentu merasa paling superior, paling berjasa sehingga memandang rendah yang lain. Dalam al-Quran Surah al-Hujurat ayat 11 Allah melarang sekumpulan laki-laki merendahkan kumpulan yang lainnya, karena boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik, begitupula dengan kaum perempuan. Kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan masing-masing. Seseorang yang kita pandang enteng mungkin memiliki kelebihan tertentu yang kita sendiri tidak memilikinya. Inilah mungkin diantaranya yang dimaksud oleh orang-orang tua, “Silallo tessirafi rufa taue”.
Ada satu kebiasaan buruk yang kerapkali ditemukan ditengah-tengah masyarakat dimana orang terbiasa saling memanggil dengan panggilan-panggilan buruk. Padahal hal seperti ini dilarang, “Jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan” (QS.al-Hujurat:11). Oleh karena itu semestinya tidak perlu terjadi label-label buruk pada masing-masing faksi yang terpolarisasi oleh kepentingan-kepentingan politik.
Hal yang tak kalah pentingnya dalam sebuah kemajemukan adalah terbuka untuk dikritik dan terlatih untuk berdiskusi. Pilar ini dapat dipahami sebagai penjabaran dari salah satu metode dakwah yang terdapat dalam Surah an-Nahl ayat 125, “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. Nilai-nilai yang dapat diserap dalam potongan ayat ini adalah terbuka untuk berdialog jika memang ada hal-hal yang harus didiskusikan, tidak elegan kiranya seorang atau sebuah komunitas/ kelompok organisasi mengatakan “pokoknya saya yang benar” tanpa dalil/ argumentasi yang memadai. Berbesar jiwa mengakui ketika salah, dan dewasa ketika “berdebat”. Tradisi ini perlu dilestarikan agar orang terlatih berdiskusi di ranah ilmiah sehingga tidak cengeng dengan sedikit-sedikit lapor polisi.
Pergumulan sosial dengan segala masalahnya terkadang sangat pelik dan kompleks. Apa yang saya uraikan dalam tulisan ini ibarat setetes air dari lautan. Bacaan yang lebih komprehensif mengenai hal ini dapat merujuk pada diantaranya karya Ahmad ibn Abdul Rahman al-Sowayan, “Min Ma’alim al-Rahmah”.
Sebagian isi tulisan ini juga telah saya sampaikan ketika mengisi ta’lim subuh di Masjid Syuhada 45 Babul Khair Sinjai pada tanggal 18 Februari 2019 atas undangan Komunitas Pejuang Subuh Sinjai.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Secara khusus kepada para elit dan pemimpin agar dapat memberikan teladan kepada masyarakatnya dalam menata dinamika pergaulan politik, karena seperti kata peribahasa, “Gajah bergajah-gajah, pelanduk mati tersepit” (Jika pemimpin berselisih, maka rakyat kecillah yang menderita).
Allahu A’lam bi al-Shawab.
Author : Muh. Asdar