MAKASSAR – Eksplorasi situs arkeologi di Kawasan Karst Bontocani oleh keluarga Mahasiswa arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin (Kaisar FIB-UH) mengungkap berbagai temuan peninggalan prasejarah termasuk lukisan di Gua UhalliE, yang kini mulai mendunia.
Penelitian pra-sejarah di Sulawesi utamanya dimulai sejak terbitnya hasil penelitian dari dua orang naturalis bersaudara asal Swiss yaitu Paul dan Frizz Sarassin pada 1902-1903 di daerah Lamoncong, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Setidaknya penelitian inilah yang menjadi pemantik maraknya penelitian pra-sejarah di Sulawesi Selatan.
Tidak tanggung-tanggung, penelitian terkait masa pra-sejarah di Kawasan Bontocani sudah hampir satu abad dimulai oleh Paul dan Fritz Sarasin (1902-1903), kemudian menyusul van Stein Callenfels (1933), Van Heekeren (1937), Willems (1939), Soejono dan Mulvanei (1969), I.C. Glover (1973), dan Bellwood (1976), serta masih banyak arkeologi dari Indonesia lain setelahnya (Nur, 2000). Semua penelitian tersebut, menyangkut budaya toala yang dicirikan oleh kebudayaan yang berkembang di gua-gua dengan bentuk artefak berupa alat serpih bilah, alat tulang, alat kerang, serta lukisan pada dinding gua (Soejono, 1984: 140-144).
Bagaimanapun karakteristik budaya gua di Sulawesi Selatan ini telah memberikan warna khusus terhadap perwajahan mesolitik di Indonesia (Nur, 2000: 29). Tulis Fakhri (ketua tim penelitian) dalam laporan penelitian Cappa Lombo 2017 yang dilakukan balai Arkeologi Makassar.
Selain itu, dalam laporan balai Arkeologi Makassar tahun 2014 juga menyiratkan banyaknya potensi temuan situs arkeologi pada kawasan karst Bontocani, oleh sebab itu masih perlu kiranya dilakukan penelitian atau survey lanjutan.
“Jika dilihat dari data hasil penelitian belakangan oleh balai arkeologi dan balai pelestarian Cagar Budaya Makassar, serta melihat dari potensi landscape karst di kawasan Bontocani, memang sangat memungkinkan jika masih ada sebaran situs lain yang belum di eksplorasi di kawasan karst tersebut”. ujar Sirajuddin, sebagai menteri penelitian dan kegiatan lapangan Kaisar, dalam pemaparan konsep eksplorasi.
Hal senada diungkapkan Agus Hendra, Presiden Kaisar periode 2017-2018 menurutnya, kegiatan ini bersifat eksploratif dan mengedepankan metode penjelajahan atau survey pada landscape yang ada di kawasan karst Bontocani.
Ditambahkan, kegiatan ini akan dijalankan pada tanggal 23 April-2 Mei 2018 (10 hari), jika tidak terkendala dalam pendanaan, administrasi, maupun perlengkapan.
Nurhelfiah sebagai salah satu perancang kegiatan menuturkan mengenai tujuan dan manfaat kegiatan yang diarahkan untuk memperkaya referensi metodologi dalam kegiatan lapangan, serta ditujukan untuk memperbanyak data lapangan yang diperuntukkan untuk kajian keilmuan, dalam hal ini adalah ilmu Arkeologi itu sendiri, sedangkan manfaat dari kegiatan adalah untuk memberikan informasi baru bagi arkeologi khususnya dan sebagai rekomendasi untuk pemerintah daerah Bontocani dalam pengembangan sumberdaya budaya.
“Kegiatan tersebut akan melibatkan 9 Mahasiswa arkeologi yang kemudian dibagi ke dalam dua tim sesuai dengan tugasnya masing-masing yaitu 6 orang akan fokus kepada pengumpulan data terkait isu yang akan dieksplor dan 3 orang lainnya akan melakukan pendokumentasian kegiatan. Hasil dari kegiatan tersebut akan berupa laporan dan film semi dokumenter,” Urainya.
Kegiatan ini didukung oleh beberapa pihak terkait seperti masyarakat Kecamatan Bontocani, Universitas Hasanuddin, Lima Desain, Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, dan Balai Pelestarian dan Cagar Budaya Sulawesi Selatan.
Respon yang sangat positif juga diberikan oleh Bapak Andi Irwandi Natsir, anggota DPRD Sul-Sel asal Bone saat ditemui di Hotel Trisula Makassar (Jumat, 20 April 2018).
Beliau menuturkan, kegiatan seperti ini merupakan kegiatan yang sangat bagus, selain itu beliau juga mengharapakan agar pemerintah daerah maupun masyarakat mendukung kegiatan ini.
Menurutnya, untuk menjawab tantangan pada era ini, ada dua hal yang harus dijadikan pegangan, yang pertama adalah menguasai teknologi dan informasi, sebagaimana aktualisasi masa kini dan yang kedua adalah orang yang berdiri tegak di atas kearifan lokal/local wisdom.
“Satu cara untuk mengetahui bentuk kearifan lokal adalah dengan model kegiatan yang teman-teman Kaisar laksanakan, yang kiranya bisa memberi pelajaran untuk kita terkait kehidupan masa lalu, dan minimal bisa menjadi rekomendasi untuk kita maupun referensi terkait bagaimana menjemput masa yang akan datang. Karena banyak kearifan-kearifan yang kita temukan berkat temuan-temuan seperti ini (arkeologis),” Pungkasnya. (*)
Editor : Supardi