Sebanyak 28% Anak Indonesia Terinfeksi Cacing

0 comments

Jakarta -.SEKRETARIS Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dr FX Wikan Indrarto, Sp.A(K) mengatakan, sekitar 24% penduduk dunia atau sekitar 1,5 miliar orang dan sebagian besar di antaranya adalah anak-anak, terinfeksi cacing yang ditularkan melalui tanah.

“Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan jumlah terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika Latin, Tiongkok dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia,” katanya, Jumat (6/10).

Ditambahkan, lebih dari 267 juta anak pra-sekolah dan 568 juta anak usia sekolah tinggal di daerah di mana parasite ini ditularkan secara intensif.

Dokter di RS Panti Rapih dan RS Siloam Lippo Plaza Yogyakarta ini mengungkapkan, Indonesia memiliki angka kecacingan yang cukup tinggi. Sebanyak 28% anak Indonesia terinfeksi cacing.

Ia menyebutkan tingginya angka kecacingan di Indonesia itu dipengaruhi oleh kurangnya kebersihan, tidak baiknya sanitasi, pasokan air, kepadatan penduduk serta tanah yang lembab.

Pada Jumat, 29 September 2017 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan rekomendasi baru untuk memberantas cacing dalam skala besar (large-scale deworming), guna memperbaiki derajad kesehatan dan gizi anak.

Menurut dr Wikan, ada beberapa jenis cacing yang biasa menginfeksi anak. Pertama adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) yang masuk ke dalam tubuh anak saat berupa telur. Cacing ini, jelasnya, biasa ditemukan pada sayuran dan buah yang tidak dibersihkan dengan baik.

Dikatakan, cacing gelang berukuran 20-30 cm dan mampu bertelur 200.000 telur per harinya.

“Cacing ini akan menimbulkan kerusakan pada lapisan usus halus, menyebabkan diare, sehingga mengganggu penyerapan karbohidrat dan protein,” ujarnya.

Kedua, ujarnya, ialah cacing cambuk (Trichuris trichiura) yang mampu bertelur hingga 5-10 ribu butir per hari.

“Cacing ini dapat membenamkan kepalanya pada dinding usus besar sehingga menyebabkan luka di usus. Pada infeksi yang berat akan terjadi diare yang mengandung lendir dan darah,” jelasnya lagi.

Sementara yang ketiga ialah cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) yang mampu bertelur 15-20 ribu butir per hari.

“Larva cacing tambang mampu menembus kulit kaki dan selanjutnya terbawa oleh pembuluh darah ke dalam usus halus, paru dan jantung. Infeksi cacing tambang ini akan menimbulkan perlukaan usus yang lebih dalam, sehingga perdarahan dapat lebih berat dibanding infeksi cacing jenis lain,” imbuhnya.

Keempat ialah cacing kremi yang berbentuk kecil dan berwarna putih. Cacing ini, katanya, bersarang di usus besar dan setelah dewasa akan berpindah ke anus untuk bertelur.

“Telur inilah yang menimbulkan rasa gatal pada anus. Bila digaruk, telur akan pecah dan larva masuk ke dalam dubur. Selain itu, telur akan bersembunyi di jari, kuku, menempel pada pakaian, sprei, atau handuk sehingga menulari orang lain,” katanya.

Keberadaan cacing dalam tubuh, katanya, dapat mengganggu status gizi anak dengan berbagai cara. Selain itu, cacing akan memakan jaringan anak, termasuk darah, yang menyebabkan hilangnya zat besi dan protein dari darah anak.

“Cacing tambang di samping menyebabkan kehilangan darah kronis yang dapat menyebabkan anemia pada anak, juga meningkatkan gangguan penyerapan atau malabsorpsi nutrisi pada usus,” tuturnya.

Selain itu, cacing gelang diduga juga dapat menyebabkan malabsorbsi vitamin A di usus, menyebabkan hilangnya nafsu makan dan oleh karena itu, pengurangan asupan nutrisi dan kebugaran fisik.

“Secara khusus, cacing pita atau T. trichiura dapat menyebabkan diare disentri,” jelasnya.

Untuk mengatasi agar tidak terinfeksi cacing, dr FX Wikan Indrarto menyarankan agar selalu melakukan pengobatan berkala kecacingan dilakukan meski tanpa diagnosis sebelumnya, terhadap semua orang berisiko yang tinggal di daerah endemik.

Pengobatan ini, ucapnya, harus diberikan setahun sekali, apabila prevalensi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada masyarakat di atas 20%, dan dua kali setahun bila prevalensi di atas 50%.

“WHO merekomendasikan obat albendazol (400 mg) dan mebendazol (500 mg), yang telah terbukti efektif, murah dan mudah dikelola oleh petugas nonmedis sekalipun, misalnya guru di sekolah,” katanya.

Pada 2015 lalu, ungkapnya, sebanyak 18,1 juta anak Indonesia telah mendapatkan obat cacing Albendazole (400 mg) dosis tunggal oleh petugas puskesmas dan diminum langsung saat itu, untuk memastikan bahwa obat itu benar diminum oleh anak sekolah.

Kemudian pada 2016, lebih dari 385 juta anak usia sekolah telah diobati dengan obat cacing di negara endemik, sesuai dengan target 68% dari semua anak yang berisiko.

“Target global 2020 adalah memberantas cacing yang ditularkan melalui tanah pada anak,” katanya.

Menurut dia, Keberhasilan ini akan diperoleh dengan memberikan obat cacing secara teratur, setidaknya pada 75% anak di daerah endemik. Jumlah TErsebut diperkirakan 836 juta anak pada 2016, sesuai rekomendasi WHO terbaru pada Jumat, 29 September 2017. (Mediaindonesia)

Editor  : Riswan

You may also like